ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM REPRODUKSI : CANCER CERVIK
Ns.
Nunung Nurhayati, S. Kep., M. Kep.
A. Konsep dasar ca serviks
Carsinoma atau kanker adalah pertumbuhan ganas
berasal dari jaringan epitel sedangkan serviks itu merupakan bagian dari rahim
sebagai jalan lahir yang berbentuk silinder. Serviks uteri : leher rahim.
Carsinoma serviks adalah suatu proses keganasan yang terjadi pada serviks,
dimana pada keadaan ini terdapat kelompok sel yang abnormal yang terbentuk oleh
jaringan yang tumbuh secara terus menerus dan tidak terbatas, tidak
terkoordinasi, tidak berguna bagi tubuh sehingga jaringan di sekitarnya tidak
dapat melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya dan penyakit ini dapat terjadi
berulang.
Kanker serviks adalah tumor ganas yang tumbuh
didalam leher rahim atau serviks yang terdapat pada bagian terendah dari rahim
yang menempel pada puncak vagina. (Diananda, Rama, 2009)
Kanker serviks merupakan gangguan pertumbuhan
seluler dan merupakan kelompok penyakit yang dimanifestasikan dengan gagalnya
untuk mengontrol proliferasi dan maturasi sel pada jaringan serviks. Kanker
serviks biasanya menyerang wanita berusia 35 - 55 tahun, 90% dari kanker
serviks berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang
menuju kedalam rahim. (Sarjadi, 2001)
B.
Anatomi dan Fisiologi
Serviks
merupakan segmen uterus berada bagian bawah yang dilapisi epitel torak
pensekresi mukus dalam kesinambungan langsung dengan epitel vagina, yang
befungsi sebagai jalan lahir.
Ekstoserviks
merupakan epitel berlapis yang gepeng serupa dengan vagina, dengan peralihan
agak mendadak diantara keduanya, sambungan skuamakolumnar. Serviks mengalami
perubahan/dramatis selama masa usia reproduktif maupun dalam siklus menstruasi.
Sambungan skuamokolumnar normalnya terletak dalam kanalis endoservikalis,
tetapi dapat berada jauh di luar pada ektoserviks, baik pasca persalinan atau
atas dasar kongenital.
Mukus
serviks dihasilkan sebagai respon terhadap estrogen dan dengan eversi sel torak
pensekresi mucus pada ektoserviks, suatu sekret mukoid dan kadang-kadang
purulen bisa dialami. Walaupun ini bisa menyebabkan secret yang berbau busuk,
tetapi tidak ada makna patologi dan tampaknya tidak mengubah kapasitas
reproduksi.
Mukus
memberikan sawar bakteri diantara traktus genitalis atas yang steril dan vagina
yang mengandung bakteri dan memudahkan sperma berjalan pada saat ovulasi.
Arsitektur endoserviks mempunyai beberapa kripta yang memberikan penampungan untuk
sperma, tempat sperma bertahan sampai beberapa hari setelah koitus.
Saluran yang
terdapat pada serviks disebut kanalis servikalis berbentuk sebagai saluran
lonjongan panjang 2,5 cm. Saluran ini dilapisi oleh kelenjar-kelenjar serviks,
berbentuk sel-sel toraks bersilia dan berfungsi sebagai reseptakulum seminis.
Pintu saluran serviks sebelah dalam disebut ostium uteri internum (OUI) dan
pintu vagina (OUE) Ostium Oteri Eksternum. Kedua pintu ini penting dalam klinik
misalnya pada penilaian jalannya persalinan, abortus dan sebagainya.
C. Etiologi
ca serviks
Menurut Diananda (2007), faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu
:
a.
Usia >
35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker leher rahim. Semakin tua usia
seseorang, maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker laher rahim.
Meningkatnya risiko kanker leher rahim pada usia lanjut merupakan gabungan dari
meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta
makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia.
b.
Usia
pertama kali menikah. Menikah pada usia kurang 20 tahun dianggap terlalu muda
untuk melakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim 10-12
kali lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia > 20 tahun. Hubungan
seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita benar-benar matang. Ukuran
kematangan bukan hanya Universitas Sumatera.
c.
Dilihat
dari sudah menstruasi atau belum. Kematangan juga bergantung pada sel-sel
mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya
sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. Jadi,
seorang wanita yang menjalin hubungan seks pada usia remaja, paling rawan bila
dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel
mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang.
Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima
rangsangan dari luar termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih
rentan, sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker
selalu berubah setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan adanya
rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari sel yang mati, sehingga
perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya bisa berubah sifat
menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks dilakukan pada usia di atas
20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi terlalu rentan terhadap perubahan.
d.
Wanita
dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti pasangan.
Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah
satunya Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan mengubah sel-sel di
permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih banyak sehingga tidak terkendali
sehingga menjadi kanker.
e.
Penggunaan
antiseptik. Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan
antiseptik maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks yang
merangsang terjadinya kanker.
f.
Wanita
yang merokok. Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker
serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukkan,
lendir serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya yang
ada di dalam rokok. Zat-zat tersebut akan menurunkan daya tahan serviks di
samping meropakan ko-karsinogen infeksi virus. Nikotin, mempermudah semua
selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi atau menjadi terangsang, baik pada mukosa
tenggorokan, paru-paru maupun serviks. Namun tidak diketahui dengan pasti
berapa banyak jumlah nikotin yang dikonsumsi yang bisa menyebabkan kanker leher
rahim.
g.
Riwayat
penyakit kelamin seperti kutil genitalia. Wanita yang terkena penyakit akibat
hubungan seksual berisiko terkena virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai
penyebab utama terjadinya kanker leher rahim sehingga wanita yang mempunyai
riwayat penyakit kelamin berisiko terkena kanker leher rahim.
h.
Paritas
(jumlah kelahiran). Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak,
apalagi dengan jarak persalinan yang terlalu pendek. Dari berbagai literatur
yang ada, seorang perempuan yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk
golongan risiko tinggi untuk terkena penyakit kanker leher rahim. Dengan
seringnya seorang ibu melahirkan, maka akan berdampak pada seringnya terjadi
perlukaan di organ reproduksinya yang akhirnya dampak dari luka tersebut akan
memudahkan timbulnya Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab terjadinya
penyakit kanker leher rahim.
i.
Penggunaan
kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama. Penggunaan kontrasepsi oral yang
dipakai dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko
kanker leher rahim 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral mungkin dapat meningkatkan
risiko kanker leher rahim karena jaringan leher rahim merupakan salah satu
sasaran yang disukai oleh hormon steroid perempuan. Hingga tahun 2004, telah
dilakukan studi epidemiologis tentang hubungan antara kanker leher rahim dan
penggunaan kontrasepsi oral. Meskipun demikian, efek penggunaan kontrasepsi
oral terhadap risiko kanker leher rahim masih kontroversional. Sebagai contoh,
penelitian yang dilakukan oleh Khasbiyah (2004) dengan menggunakan studi kasus
kontrol. Hasil studi tidak menemukan adanya peningkatan risiko pada perempuan
pengguna atau mantan pengguna kontrasepsi oral karena hasil penelitian tidak
memperlihatkan hubungan dengan nilai p>0,05.
D. Klasifikasi
ca serviks
Penentuan tahapan klinis penting dalam
memperkirakan penyebaran penyakit, membantu prognosis rencana tindakan, dan
memberikan arti perbandingan dari metode terapi. Tahapan stadium klinis yang
dipakai sekarang ialah pembagian yang ditentukan oleh The International
Federation Of Gynecologi And Obstetric (FIGO). Pembagian ini didasarkan atas
pemeriksaan klinik, radiologi, suktase endoserviks dan biopsi. Tahapan –tahapan
tersebut yaitu :
a. Karsinoma pre invasif;
b. Karsinoma in-situ, karsinoma
intraepitel; dan
c. Kasinoma invasive.
Klasifikasi histologik kanker serviks ada beberapa, di antaranya :
1. Skuamous carcinoma
a.
Keratinizing
b.
Large
cell non keratinizing
c.
Small
cell non keratinizing
d.
Verrucous
2. Adeno carcinoma
a.
Endocervical
b.
Endometroid
(adenocanthoma)
c.
Clear
cell - paramesonephric
d.
Clear
cell - mesonephric
e.
Serous
f.
Intestinal
3. Mixed carcinoma
a.
Adenosquamous
b.
Mucoepidermoid
c.
Glossy
cell
d.
Adenoid
cystic
Stadium kanker serviks menurut FIGO

Tahap
O : Kanker insitu, kanker terbatas pada lapisan epitel, tidak terdapat bukti invasi.
Tahap
I : Karsinoma yang benar - benar berada dalam serviks. Proses terbatas pada
serviks walaupun ada perluasan ke korpus uteri.
Tahap
Ia : Karsinoma mikroinvasif, bila membran basalis sudah rusak dan sel tumor
sudah memasuki stoma lebih dari 1 mm, sel tumor tidak terdapat pada pembuluh
limfa atau pembuluh darah.
Tahap
Ib : Secara klinis sudah diduga adanya tumor yang histologik menunjukkan invasi
serviks uteri.
Tahap
II : Kanker vagina, lesi telah menyebar diluar serviks hingga mengenai vagina
(bukan sepertiga bagian bawah ) atau area para servikal pada salah satu sisi
atau kedua sisi.
Tahap
IIa : Penyebarah hanya perluasan vagina, parametrium masih bebas dari
infiltrate tumor.
TahapIIb
: Penyebaran keparametrium, uni atau bilateral tetap belum sampai pada dinding
panggul.
Tahap
III : Kanker mengenai sepertiga bagian bawah vagina atau telah meluas kesalah
satu atau kedua dinding panggul. Penyakit nodus limfe yang teraba tidak merata
pada dinding panggul. Urogram IV menunjukkan salah satu atau kedua ureter
tersumbat oleh tumor.
Tahap
IIIa : Penyebaran sampai pada sepertiga bagian distal vagina, sedang ke
parametrium tidak dipersoalkan.
Tahap
IIIb : Penyebaran sudah sampai pada dinding panggul, tidak ditemukan daerah bebas
infiltrasi antara tumor dengan dinding panggul ( frozen pelvic ) atau proses
pada tingkatan klinik I dan II, tetapi sudah ada gangguan faal ginjal.
Tahap
IV : Proses keganasan telah keluar dari panggul kecil dan melibatkan mukosa
rektum dan atau kandang kemih (dibuktikan secara histologik ) atau telah
terjadi metastasis keluar paanggul atau ketempat - tempat yang jauh.
Tahap
IVa : Proses sudah keluar dari panggul kecil, atau sudah menginfiltrasi mukosa
rektrum dan atau kandung kemih.
Tahap IVb : Telah terjadi penyebaran jauh. ( Dr Imam Rasjidi, 2010 ).
E. Patofisiologi
ca serviks
Karsinoma serviks adalah penyakit yang
progresif, mulai dengan intraepitel, berubah menjadi neoplastik, dan akhirnya
menjadi kanker serviks setelah 10 tahun atau lebih. Secara histopatologi lesi
pre invasif biasanya berkembang melalui beberapa stadium displasia (ringan,
sedang dan berat) menjadi karsinoma insitu dan akhirnya invasif. Berdasarkan
karsinogenesis umum, proses perubahan menjadi kanker diakibatkan oleh adanya
mutasi gen pengendali siklus sel. Gen pengendali tersebut adalah onkogen, tumor
supresor gene, dan repair genes. Onkogen dan tumor supresor gen mempunyai efek
yang berlawanan dalam karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya
transformasi maligna, sedangkan tumor supresor gen akan menghambat perkembangan
tumor yang diatur oleh gen yang terlibat dalam pertumbuhan sel. Meskipun kanker
invasive berkembang melalui perubahan intraepitel, tidak semua perubahan ini
progres menjadi invasif. Lesi preinvasif akan mengalami regresi secara spontan
sebanyak 3 -35%.
Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang)
mempunyai angka regresi yang tinggi. Waktu yang diperlukan dari displasia
menjadi karsinoma insitu (KIS) berkisar antara 1 – 7 tahun, sedangkan waktu
yang diperlukan dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3 – 20 tahun (TIM
FKUI, 2005). Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali
adanya perubahan displasia yang perlahan-lahan menjadi progresif. Displasia ini
dapat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya
akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan gangguan
keseimbangan hormon. Dalam jangka waktu 7 – 10 tahun perkembangan tersebut
menjadi bentuk preinvasif berkembang menjadi invasif pada stroma serviks dengan
adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat menimbulkan luka,
pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke kanalis serviks. Lesi
dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria dan akhirnya dapat
menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria. Virus DNA ini menyerang epitel
permukaan serviks pada sel basal zona transformasi, dibantu oleh faktor risiko
lain mengakibatkan perubahan gen pada molekul vital yang tidak dapat
diperbaiki, menetap, dan kehilangan sifat serta kontrol pertumbuhan sel normal
sehingga terjadi keganasan. Berbagai jenis protein diekspresikan oleh HPV yang
pada dasarnya merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut. Protein
tersebut adalah E1, E2, E4, E5, E6, dan E7 yang merupakan segmen open reading
frame (ORF). Di tingkat seluler, infeksi HPV pada fase laten bersifat
epigenetic. Pada infeksi fase laten, terjadi terjadi ekspresi E1 dan E2 yang
menstimulus ekspresi terutama terutama L1 selain L2 yang berfungsi pada
replikasi dan perakitan virus baru. Virus baru tersebut menginfeksi kembali sel
epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi imun
tipe lambat dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang mengakibatkan penurunan
ekspresi E1 dan E2. Penurunan ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih dari ±
50.000 virion per sel dapat mendorong terjadinya integrasi antara DNA virus
dengan DNA sel penjamu untuk kemudian infeksi HPV memasuki fase aktif
(Djoerban, 2000). Ekspresi E1 dan E2 rendah hilang pada pos integrasi ini
menstimulus ekspresi onkoprotein E6 dan E7. Selain itu, dalam karsinogenesis
kanker serviks terinfeksi HPV, protein 53 (p53) sebagai supresor tumor diduga
paling banyak berperan. Fungsi p53 wild type sebagai negative control cell
cycle dan guardian of genom mengalami degradasi karena membentuk kompleks
p53-E6 atau mutasi p53. Kompleks p53-E6 dan p53 mutan adalah stabil, sedangkan
p53 wild type adalah labil dan hanya bertahan 20-30 menit.
Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka
proses karsinogenesis berjalan tanpa kontrol oleh p53. Oleh karena itu, p53
juga dapat dipakai sebagai indikator prognosis molekuler untuk menilai baik
perkembangan lesi pre-kanker maupun keberhasilan terapi kanker serviks (Kaufman
et al, 2000). Dengan demikian dapatlah diasumsikan bahwa pada kanker serviks
terinfeksi HPV terjadi peningkatan kompleks p53-E6. Dengan pernyataan lain,
terjadi penurunan p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV. Dan, seharusnya p53
dapat dipakai indikator molekuler untuk menentukan prognosis kanker serviks.
Bila pembuluh limfe terkena invasi, kanker dapat menyebar ke pembuluh getah
bening pada servikal dan parametria, kelenjar getah bening obtupator, iliaka
eksterna dan kelenjar getah bening hipogastrika. Dari sini tumor menyebar ke
kelenjar getah bening iliaka komunis dan pada aorta. Secara hematogen, tempat
penyebaran terutama adalah paru-paru, kelenjar getah bening mediastinum dan
supravesikuler, tulang, hepar, empedu, pankreas dan otak.
Pathway :
|
|
|
|
![]() |
|||||
![]() |
![]() |
||||

![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
Proses perkembangan kanker serviks berlangsung
lambat, diawali dengan adanya perubahan displasia yang perlahan-lahan menjadi
progresif. Displasia tidak melibatkan seluruh lapisan epitel serviks, yang
dibagi menjadi displasia ringan, sedang dan berat. Displasia ini dapat muncul
bila ada aktivitas regresi epitel yang meningkat misalnya akibat trauma mekanik
atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan gangguan keseimbangan hormon.
Displasia adalah neoplasma serviks intraepitel (CIN). Tingkatan adalah CIN 1
(displasia ringan), CIN 2 (displasia sedang), CIN 3 (displasia berat dan
insitu).
Dalam jangka waktu 7 – 10 tahun, perkembangan
tersebut menjadi bentuk invasi pada stroma serviks dengan adanya proses
keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat menimbulkan luka, perkembangan
tersebut menjadi bentuk preinvasif, carsinoma insitu yang diawali fase statis
dalam waktu 10 – 12 bulan berkembang menjadi bentuk invasi pada stroma serviks
dengan adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat menimbulkan
luka, pertumbuhan yang eksofilik atau dapat berinfiltrasi ke kanalis serviks.
Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks. Para metrium dan pada
akhirnya dapat meluas ke arah segmen bawah uterus dan cavum uterus. Penyebab
kanker ditentukan oleh stadium dan ukuran tumor, jenis histologik dan ada
tidaknya invasi ke pembuluh darah, anemis, hipertensi dan adanya demam.
F. Manifestasi
klinis
a.
Keputihan
yang makin lama makin berbau akibat infeksi dan nekrosis jaringan.
b.
Perdarahan
yang dialami segera setelah senggama ( 75% - 80% )
c.
Perdarahan
yang terjadi diluar senggama.
d.
Perdarahan
spontan saat defekasi.
e.
Perdarahan
diantara haid.
f.
Rasa
berat dibawah dan rasa kering divagina.
g.
Anemia
akibat pendarahan berulang.
h.
Rasa
nyeri akibat infiltrasi sel tumor ke serabut syaraf.(Dr Rama Diananda, 2009 )
G. Pemeriksaan
penunjang pada ca serviks
a. Sitologi
Pemeriksaan ini yang dikenal sebagai
tes papanicolaous ( tes PAP ) sangat bermanfaat untuk mendeteksi lesi secara
dini, tingkat ketelitiannya melebihi 90% bila dilakukan dengan baik. Sitologi
adalah cara Skrining sel - sel serviks yang tampak sehat dan tanpa gejala untuk
kemudian diseleksi. Kanker hanya dapat didiagnosis secara histologik.
b. Kolposkopi
Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan
menggunakan kolposkopi, suatu alat yang dapat disamakan dengan sebuah mikroskop
bertenaga rendah dengan sumber cahaya didalamnya ( pembesaran 6 - 40 kali ). Kalau
pemeriksaan sitologi menilai perubahan morfologi sel - sel yang mengalami
eksfoliasi, maka kolposkopi menilai perubahan pola epitel dan vascular serviks
yang mencerminkan perubahan biokimia dan perubahan metabolik yang terjadi di
jaringan serviks.
c. Biopsi
Biopsi dilakukan didaerah abnormal jika
SSP (sistem saraf pusat ) terlihat seluruhnya dengan kolposkopi. Jika SSP tidak
terlihat seluruhnya atau hanya terlihat sebagian kelainan didalam kanalis serviskalis
tidak dapat dinilai, maka contoh jaringan diambil secara konisasi. Biopsi harus
dilakukan dengan tepat dan alat biopsy harus tajam sehingga harus diawetkan
dalam larutan formalin 10%.
d. Konisasi
Konosasi serviks ialah pengeluaran
sebagian jaringan serviks sedemikian rupa sehingga yang dikeluarkan berbentuk
kerucut ( konus ), dengan kanalis servikalis sebagai sumbu kerucut. Untuk
tujuan diagnostik, tindakan konisasi selalu dilanjutkan dengan kuretase. Batas jaringan
yang dikeluarkan ditentukan dengan pemeriksaan kolposkopi. Jika karena suatu
hal pemeriksaan kolposkopi tidak dapat dilakukan, dapat dilakukan tes Schiller.
Pada tes ini digunakan pewarnaan dengan larutan lugol ( yodium 5g, kalium
yodida 10g, air 100ml ) dan eksisi dilakukan diluar daerah dengan tes positif (
daerah yang tidak berwarna oleh larutan lugol ). Konikasi diagnostik dilakukan
pada keadaan - keadaan sebagai berikut :
1) Proses dicurigai berada di endoserviks.
2) Lesi tidak tampak seluruhnya dengan
pemeriksaan kolposkopi.
3) Diagnostik mikroinvasi ditegakkan atas
dasar specimen biopsy.
4) Ada kesenjangan antara hasil sitologi
dan histopatologik. (Prof. R Sulaiman, 2006).
e. Pemeriksaan pap smear
Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien yang tidak memberikan keluhan. Sel
kanker dapat diketahui pada sekret yang diambil dari porsi serviks. Pemeriksaan
ini harus mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau ketika telah melakukan
aktivitas seksual sebelum itu. Setelah tiga kali hasil pemeriksaan pap smear
setiap tiga tahun sekali sampai usia 65 tahun. Pap smear dapat mendeteksi
sampai 90% kasus kanker leher rahim secara akurat dan dengan biaya yang tidak
mahal, akibatnya angka kematian akibat kanker leher rahim pun menurun sampai
lebih dari 50%. Setiap wanita yang telah aktif secara seksual sebaiknya
menjalani pap smear secara teratur yaitu 1 kali setiap tahun. Apabila selama 3
kali berturut-turut menunjukkan hasil pemeriksaan yang normal, maka pemeriksaan
pap smear bisa dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali. Hasil pemeriksaan pap
smear adalah sebagai berikut :
1) Normal.
2) Displasia ringan (perubahan dini yang
belum bersifat ganas).
3) Displasia berat (perubahan lanjut yang
belum bersifat ganas).
4) Karsinoma in situ (kanker terbatas pada
lapisan serviks paling luar).
5) Kanker invasif (kanker telah menyebar
ke lapisan serviks yang lebih dalam atau ke organ tubuh lainnya).
f. Tes Schiller Pada pemeriksaan ini
serviks diolesi dengan larutan yodium. Pada serviks normal akan membentuk
bayangan yang terjadi pada sel epitel serviks karena adanya glikogen. Sedangkan
pada sel epitel serviks yang mengandung kanker akan menunjukkan warna yang
tidak berubah karena tidak ada glikogen.
g. Radiologi
1) Pelvik limphangiografi, yang dapat
menunjukkan adanya gangguan pada saluran pelvik atau peroartik limfe.
2) Pemeriksaan intravena urografi, yang
dilakukan pada kanker serviks tahap lanjut, yang dapat menunjukkan adanya
obstruksi pada ureter terminal. Pemeriksaan radiologi direkomendasikan untuk
mengevaluasi kandung kemih dan rektum yang meliputi sitoskopi, pielogram
intravena (IVP), enema barium, dan sigmoidoskopi. Magnetic Resonance Imaging
(MRI) atau scan CT abdomen / pelvis digunakan untuk menilai penyebaran lokal
dari tumor dan / atau terkenanya nodus limpa regional.
H. Penatalaksanaan
medis
Makin tinggi diagnosis makin baik hasil
terapi., dan terapi karsinoma serviks dilakukan bilamana diagnosis telah
dipastikan secara histologik dan direncanakan dengan matang oleh suatu tim.
Disamping terapi karsinoma serviks didasarkan
atas stadium juga didasarkan keinginan dan mempertahankan fungsi reproduksi
(hanya pada stadium Ia). Pada stadium 0 dapat dilakukan biopsi kerucut
(conebiopsy) meskipun untuk diagnostik, dapat juga terapeutik. Bila penderita
cukup tua atau sudah punya anak, uterus dapat diangkat, agar penyakit tidak
kambuh dapat dilakukan histerektomi sederhana (simple vagina hysterectomy).
Staidum Ia bila masih ingin punya anak
dilakukan amputasi kerucut secara radikal, bila tidak ingin punya anak
lagi dilakukan histerektomi total.
Stadium IB dan Ia dilakukan histerektomi radikal + anjuran therapy. Stadium IIB
sampai IVA dilakukan kemoterapi dan atau radioterapi. Sedangkan bila sudah
sampai stadium IVB dilakukan radioterapi saja.
Pengobatan lesi prekanker pada serviks tergantung kepada beberapa
faktor berikut:
1)
Tingkatan
lesi (apakah tingkat rendah atau tingkat tinggi)
2)
Rencana
penderita untuk hamil lagi
3)
Usia dan
keadaan umum penderita.
4)
Lesi
tingkat rendah biasanya tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut, terutama jika
daerah yang abnormal seluruhnya telah diangkat pada waktu pemeriksaan biopsi.
Tetapi penderita harus menjalani pemeriksaan Pap smear dan pemeriksaan panggul
secara rutin.
Pengobatan pada lesi prekanker bisa berupa:
1)
Kriosurgeri
(pembekuan)
2)
Kauterisasi
(pembakaran, juga disebut diatermi)
3)
Pembedahan
laser untuk menghancurkan sel-sel yang abnormal tanpa melukai jaringan yang
sehat di sekitarnya
4)
LEEP
(loop electrosurgical excision procedure) atau konisasi.
Setelah menjalani pengobatan, penderita
mungkin akan merasakan kram atau nyeri lainnya, perdarahan maupun keluarnya
cairan encer dari vagina. Pemilihan pengobatan untuk kanker serviks tergantung
kepada lokasi dan ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan umum penderita
dan rencana penderita untuk hamil lagi.
Pembedahan
Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas
pada lapisan serviks paling luar), seluruh kanker seringkali dapat diangkat
dengan bantuan pisau bedah ataupun melalui LEEP. Dengan pengobatan tersebut,
penderita masih bisa memiliki anak. Karena kanker bisa kembali kambuh,
dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan ulang dan Pap smear setiap 3 bulan
selama 1 tahun pertama dan selanjutnya setiap 6 bulan.
Jika penderita tidak memiliki rencana untuk
hamil lagi, dianjurkan untuk menjalani histerektomi.
a.
Pada
kanker invasif, dilakukan histerektomi dan pengangkatan struktur di sekitarnya
(prosedur ini disebut histerektomi radikal) serta kelenjar getah bening. Pada
wanita muda, ovarium (indung telur) yang normal dan masih berfungsi tidak
diangkat.
b.
Terapi penyinaran
Terapi
penyinaran (radioterapi) efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih
terbatas pada daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi
untuk merusak sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya. Ada 2 macam
radioterapi:
Radiasi
eksternal : sinar berasar dari sebuah mesin besar. Penderita tidak perlu
dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya dilakukan sebanyak 5 hari/minggu
selama 5-6 minggu.
Radiasi
internal : zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan langsung
ke dalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita
dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2
minggu.
Efek samping
dari terapi penyinaran adalah:
1)
Iritasi
rektum dan vagina
2)
Kerusakan
kandung kemih dan rektum
3)
Ovarium
berhenti berfungsi.
Kemoterapi
Jika kanker telah menyebar ke luar panggul,
kadang dianjurkan untuk menjalani kemoterapi. Pada kemoterapi digunakan
obat-obatan untuk membunuh sel-sel kanker. Obat anti-kanker bisa diberikan
melalui suntikan intravena atau melalui mulut. Kemoterapi diberikan dalam suatu
siklus, artinya suatu periode pengobatan diselingi dengan periode pemulihan,
lalu dilakukan pengobatan, diselingi denga pemulihan, begitu seterusnya.
Adapun obat-obat yang dipakai sebagai kemoterapi diberikan 5 seri
selang 3-4 minggu.
Premedikasi :
1)
Antalgin
injeksi.
2)
Dipenhydramine
injeksi.
3)
Dexamethason
injeksi.
4)
Metochlorpropamide
injeksi.
5)
Furosemide
injeksi.
Sitostatika :
1)
Ciplatinum
(50 mg/m2 luas permukaan tubuh per infus hari I).
2)
Vincristin
(0,5 mg/m2 luas permukaan tubuh intraevenous hari I).
3)
Bleomisin
(30 mg) per infus hari II.
4)
Mitomicin
(40 mg dosis tunggal, dianjurkan dengan radioterapi).
Terapi Biologis
Pada terapi biologis digunakan zat-zat untuk
memperbaiki sistem kekebalan tubuh dalam melawan penyakit. Terapi biologis
dilakukan pada kanker yang telah menyebar ke bagian tubuh lainnya. Yang paling
sering digunakan adalah interferon, yang bisa dikombinasikan dengan kemoterapi.
Efek Samping Pengobatan
Selain membunuh sel-sel kanker, pengobatan
juga menyebabkan kerusakan pada sel-sel yang sehat sehingga seringkali
menimbulkan efek samping yang tidak menyenangkan. Efek samping dari
pengobatankanker sangat tergantung kepada jenis dan luasnya pengobatan. Selain
itu, reaksi dari setiap penderita juga berbeda-beda. Metoda untuk membuang atau
menghancurkan sel-sel kanker pada permukaan serviks sama dengan metode yang
digunakan untuk mengobati lesi prekanker. Efek samping yang timbul berupa kram
atau nyeri lainnya, perdarahan atau keluar cairan encer dari vagina. Beberapa
hari setelah menjalani histerektomi, penderita bisa mengalami nyeri di perut
bagian bawah. Untuk mengatasinya bisa diberikan obat pereda nyeri.
Penderita juga mungkin akan mengalami
kesulitan dalam berkemih dan buang air besar. Untuk membantu pembuangan air
kemih bisa dipasang kateter. Beberapa saat setealh pembedahan, aktivitas
penderita harus dibatasi agar penyembuhan berjalan lancar. Aktivitas normal
(termasuk hubungan seksual) biasanya bisa kembali dilakukan dalam waktu 4-8
minggu.
Setelah menjalani histerektomi, penderita
tidak akan mengalami menstruasi lagi. Histerektomi biasanya tidak mempengaruhi
gairah seksual dan kemampuan untuk melakukan hubungan seksual. Tetapi banyak
penderita yang mengalami gangguan emosional setelah histerektomi. Pandangan
penderita terhadap seksualitasnya bisa berubah dan penderita merasakan
kehilangan karena dia tidak dapat hamil lagi.
Selama menjalani radioterapi, penderita mudah
mengalami kelelahan yang luar biasa, terutama seminggu sesudahnya. Istirahat
yang cukup merupakan hal yang penting, tetapi dokter biasanya menganjurkan agar
penderita sebisa mungkin tetap aktif.
Pada radiasi eksternal, sering terjadi
kerontokan rambut di daerah yang disinari dan kulit menjadi merah, kering serta
gatal-gatal. Mungkin kulit akan menjadi lebih gelap. Daerah yang disinari
sebaiknya mendapatkan udara yang cukup, tetapi harus terlindung dari sinar
matahari dan penderita sebaiknya tidak menggunakan pakaian yang bisa mengiritasi
daerah yang disinari.
Biasanya, selama menjalani radioterapi
penderita tidak boleh melakukan hubungan seksual. Kadang setelah radiasi
internal, vagina menjadi lebh sempit dan kurang lentur, sehingga bisa
menyebabkan nyeri ketika melakukan hubungan seksual. Untuk mengatasi hal ini,
penderita diajari untuk menggunakan dilator dan pelumas dengan bahan dasar air.
Pada radioterapi juga bisa timbul diare dan sering berkemih.
Efek samping dari kemoterapi sangat tergantung
kepada jenis dan dosis obat yang digunakan. Selain itu, efek sampingnya pada
setiap penderita berlainan. Biasanya obat anti-kanker akan mempengaruhi sel-sel
yang membelah dengan cepat, termasuk sel darah (yang berfungsi melawan infeksi,
membantu pembekuan darah atau mengangkut oksigen ke seluruh tubuh). Jika sel
darah terkena pengaruh obat anti-kanker, penderita akan lebih mudah mengalami
infeksi, mudah memar dan mengalami perdarahan serta kekurangan tenaga.
Sel-sel pada akar rambut dan sel-sel yang
melapisi saluran pencernaan juga membelah dengan cepat. Jika sel-sel tersebut
terpengaruh oleh kemoterapi, penderita akan mengalami kerontokan rambut, nafsu
makannya berkurang, mual, muntah atau luka terbuka di mulut. Terapi biologis
bisa menyebabkan gejala yang menyerupai flu, yaitu menggigil, demam, nyeri
otot, lemah, nafsu makan berkurang, mual, muntah dan diare. Kadang timbul ruam,
selain itu penderita juga bisa mudah memar dan mengalami perdarahan.
I. Asuhan Keperawatan pada ca serviks
1. Pengkajian
a. Identitas klien
b. Riwayat penyakit sekarang, dahulu,
keluarga.
c. Usia saat pertama kali melakukan
hubungan seksual
Salah satu faktor yang menyebabkan
kanker serviks ini adalah menikah dibawah umur 18 tahun.
d. Perilaku seks berganti - ganti pasangan
Dengan perilaku tersebut kemungkinan
virus penyebab terjadinya kanker serviks dapat ditularkan dengan mudah.
e. Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi rendah dikaitkan erat
karena tidak dapat melakukan pap smear secara rutin dan pola hubungan seksual
yang tidak sehat.
f. Tingkat pengetahuan
Tingkat pengetahuan yang rendah dapat
juga dihubungkan dengan kurangnya pemahaman mengenai pencegahan dan penaganan
kanker serviks.
g. Aspek mental: harga diri, identitas
diri, gambaran diri, konsep diri, peran diri, emosional.
h. Perineum; keputihan, bau, kebersihan Keputihan
yang gatal dan berbau adalah tanda dari kanker leher rahim yang mulai mengalami
metastase.
i.
Nyeri (
daerah panggul atau tungkai )
Nyeri bisa diakibatkan oleh karena sel
kanker yang sudah mendesak dan abnormalita pada organ - organ daerah panggul.
j.
Perasaan
berat daerah perut bagian bawah
Sel - sel kanker yang mendesak
mengakibatkan gangguan pada syaraf - syaraf disekitar panggul dan perut,
sehingga menimbulkan perasaan berat pada daerah tersebut.
k. Gaya hidup
Gaya hidup yang tidak sehat, seperti
makan - makanan cepat saji dapat memicu sel kanker untuk tumbuh dengan cepat,
pada orang – orang dengan gemar berganti - ganti pasangan dengan
mengesampingkan efek negatifnya kemungkinan besar dapat timbul gejala - gejala
tersebut sehingga mengarah pada terjadinya kanker leher rahim.
l.
Siklus
Menstruasi
Siklus menstruasi yang tidak teratur
atau terjadi perdarahan diantara siklus haid adalah salah satu tanda gejala
kanker leher rahim.
m. Riwayat Keluarga
Seorang ibu yang mempunyai riwayat ca
serviks.(Doengoes, 2005)
2. Diagnosa Keperawatan
a.
Nyeri
berhubungan dengan penekanan sel kanker pada syaraf dan kematian sel.
b.
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah karena
proses eksternal Radiologi
c.
Resiko
penyebaran infeksi berhubungan dengan pengeluaran pervaginam (darah, keputihan).
d.
Cemas
berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang prosedur pengobatan.
e.
Resiko
tinggi kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan efek dari prosedur
pengobatan.
f.
Resiko injuri
berhubungan dengan kelemahan dan kelelehan.
g.
Gangguan
pola seksual berhubungan dengan metaplasia penyakit.
h.
Resti
terjadinya syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan pervaginam.
3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan penekanan sel
kanker pada syaraf dan kematian sel.
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama nyeri hilang atau berkurang.
Kriteria :
a)
pasien
mengatakan nyeri hilang atau berkurang dengan skala nyeri 0- 3.
b)
Ekspresi
wajah rileks.
c)
Tanda -
tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
a)
Kaji
riwayat nyeri, lokasi, frekuensi, durasi, intensitas, dan skala nyeri.
b)
Berikan
tindakan kenyamanan dasar: relaksasi, distraksi, imajinasi, message.
c)
Awasi dan
pantau TTV.
d)
Berikan
posisi yang nyaman.
e)
Kolaborasi
pemberian analgetik.
Rasional :
a)
Mengetahui
tingkat nyeri pasien dan menentukan tindakan yang akan dilakukan selanjutnya.
b)
Mengurangi
rasa nyeri.
c)
Mengetahui
tanda kegawatan.
d)
Memberikan
rasa nyaman dan membantu mengurangi nyeri.
e)
Mengontrol
nyeri maksimum.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan mual muntah karena proses eksternal Radiologi .
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan status nutrisi dipertahankan untuk memenuhi
kebutuhan tubuh.
Kriteria hasil :
1)
Pasien
menghabiskan makanan yang telah diberikan oleh petugas.
2)
Konjungtiva
tidak anemis, sclera tidak ikterik.
3)
Berat
badan klein normal.
4)
Hasil
hemoglobin dalam batas normal.
Intervensi :
1)
Kaji
status nutrisi pasien
2)
Ukur
berat badan setiap hari atau sesuai indikasi.
3)
Dorong
Pasien untuk makan - makanan tinggi kalori, kaya protein dan tetap sesuai diit
( Rendah Garam ).
4)
Pantau
masukan makanan setiap hari.
5)
Anjurkan
pasien makan sedikit tapi sering.
Rasional :
1)
Untuk
mengetahui status nutrisi
2)
Memantau
peningkatan BB.
3)
Kebutuhan
jaringan metabolik adequat oleh nutrisi.
4)
Identifikasi
defisiensi nutrisi.
5)
Agar
nutrisi terpenuhi
c. Resiko penyebaran infeksi berhubungan
dengan pengeluaran pervaginam ( darah, keputihan ).
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan jam pasien tidak terjadi penyebaran infeksi dan
dapat menjaga diri dari infeksi .
Kriteria hasil :
1)
Tidak ada
tanda - tanda infeksi pada area sekitar serviks
2)
Tanda -
tanda vital dalam batas normal.
3)
Tidak
terjadi nasokomial hilang, baik dari perawat ke pasien, pasien keluarga, pasien
ke pasien lain dan klien ke pengunjung.
4)
Tidak
timbul tanda - tanda infeksi karena lingkungan yang buruk
5)
.Hasil
hemoglobin dalam batas normal, dilihat dari leukosit.
Intervensi :
1)
Kaji
adanya infeksi disekitar area serviks.
2)
Tekankan
pada pentingnya personal hygiene.
3)
Pantau
tanda - tanda vital terutama suhu.
4)
Berikan
perawatan dengan prinsip aseptik dan antisepik.
5)
Tempatkan
klien pada lingkungan yang terhindar dari infeksi.
6)
Koloborasi
pemeberian antibiotik.
Rasional :
1)
Mengurangi
terjadinya infeksi.
2)
Agar
tidak terjadi penyebaran infeksi.
3)
Mencegah
terjadinya infeksi.
4)
Membantu
mempercepat penyembuhan.
5)
Mencegah
terjadinya infeksi.
d. Cemas berhubungan dengan kurang
pengetahuan tentang prosedur pengobatan.
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan kecemasan hilang atau berkurang.
Kriterial hasil :
1)
Pasien
mengatakan perasaan cemasnya hilang atau berkurang.
2)
Terciptanya
lingkungan yang aman dan nyaman bagi pasien.
3)
Pasien
tampak rileks, tampak senang karena mendapat perhatian.
4)
Keluarga
atau orang terdekat dapat mengenai dan mengklarifikasi rasa takut.
5)
Pasien
mendapat informasi yang akurat, serta prognosis dan pengobatan dan klien
mendapat dukungan dari terdekat.
Intervensi :
1)
Dorong
pasien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
2)
Beri
lingkungan terbuka dimana pasien merasa aman untuk mendiskusikan perasaan atau
menolak untuk bicara.
3)
Pertahankan
bentuk sering bicara dengan pasien, bicara dengan menyentuh klien.
4)
Bantu
pasien atau orang terdekat dalam mengenali dan mengklarifikasi rasa takut.
5)
Beri
informasi akurat, konsisten mengenai prognosis, pengobatan serta dukungan orang
terdekat.
Rasional :
1)
Memberikan
kesempatan untuk mengungkapkan ketakutannya.
2)
Membantu
mengurangi kecemasan.
3)
Meningkatkan
kepercayaan klien.
4)
Meningkatkan
kemampuan kontrol cemas.
5)
Mengurangi
kecemasan.
e. Resiko tinggi kerusakan intergritas
kulit berhubungan dengan efek dari prosedur pengobatan.
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi kerusakan intergritas kulit.
Kriteria hasil :
1)
Pasien
atau keluarga dapat mempertahankan keberhasilan pengobatan tanpa mengiritasi
kulit.
2)
Pasien
dan keluarga dapat mencegah terjadi infeksi atau trauma kulit.
3)
Pasien
keluarga beserta TIM medis dapat meminimalkan trauma pada area terapi radiasi.
4)
Pasien,
keluarga beserta tim medis dapat menghindari dan mencegah cedera dermal karena
kulit sangat sensitif selama pengobatan dan setelahnya.
Intervensi :
1)
Mandikan
dengan air hangat dan sabun ringan.
2)
Dorong
pasien untuk menghindari menggaruk dan menepuk kulit yang kering dari pada
menggaruk.
3)
Tinjau
protokol perawatan kulit untuk pasien yang mendapat terapi radiasi.
4)
Anjurkan
memakai pakaian yang lembut dan longgar pada, biarkan pasien menghindari
penggunaan bra bila ini memberi tekanan.
Rasional :
1)
Mempertahankan
kebersihan kulit tanpa mengiritasi kulit.
2)
Membantu
menghindari trauma kulit.
3)
Efek
kemerahan dapat terjadi pada terapi radiasi.
4)
Meningkatkan
sirkulasi dan mencegah tekanan pada kulit.
f. Resiko injuri berhubungan dengan
kelemahan dan kelelahan.
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi cedera atau injuri.
Kriteria hasil :
1)
Pasien
dapat meningkatkan keamanan ambulasi.
2)
Pasien
mampu menjaga keseimbangan tubuh ketika akan melakukan aktifitas.
3)
Pasien
mampu meningkatkan posisi fungsional pada ektremitas.
Intervensi :
1)
Intruksikan
dan bantu dalam mobilitas secara tepat.
2)
Anjurkan
untuk berpegangan tangan atau minta bantuan pada keluarga dalam melakukan suatu
kegiatan.
3)
Pertahankan
posisi tubuh tepat dengan dukungan alat bantuan.
Rasional :
1)
Membantu
mengurangi kelelahan.
2)
Membantu
pasien untuk melakukan kegiatan.
3)
Membantu
mempercepat penyembuhan.
g. Gangguan pola seksual berhubungan
dengan metaplasia penyakit.
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama pasien mampu mempertahankan aktifitas
seksual pada tingkat yang diinginkan bila mungkin.
Kriteria hasil :
1)
Pasien
mampu memahami tentang arti seksualitas, seksualitas dapat diungkapkan dengan
bentuk perhatian yang diberikan seseorang.
Intervensi :
1)
Kaji
masalah- masalah perkembangan daya hidup.
2)
Catat
pemikiran pasien/ orang- orang yang berpengaruh bagi pasien mengenai
seksualitas
3)
Evaluasi
faktor-faktor budaya dan religius/ nilai dan konflik-konflik yang muculberikan
suasana yang terbuka dalam diskusi mengenai masalah seksualitas.
4)
Tingkatkan
keleluasaan diri bagi pasien dan orang- orang yang penting bagi pasien.
Rasional :
a.
Faktor-
faktor seperti menoupose dan proses penuan remaja dan dewasa awal yang perlu
masukan dalam pertimbangan mengenai seksualitas dalam penyakit yang perawatan
yang lama.
b.
Untuk
memberikan pandangan bahwa keterbatasan kondisi/lingkungan akan berpengaruh
pada kemampuan seksual tetapi mereka takut untuk menanyakan secara lansung untuk
mempengaruhi persepsi pasien terhadap masalah seksual yang muncul.
c.
Apabila
masalah- masalah diidentifikasikan dan di diskusikan maka pemecahan masalah
dapat ditemukan
d.
Perhatikan
penerimaan akan kebutuhan keintiman dan tingkatkan makna terhadap pola
interaksi yang telah dibina
h. Resti terjadinya syok hipovolemik
berhubungan dengan perdarahan pervaginam.
Tujuan : Setelah dilakukan
tindakan keperawatan syok berkurang atau tidak terjadi syok.
Kriterial hasi :
1)
pasien
tidak mengalami anemia
2)
Tanda -
tanda vital stabil.
3)
Pasien
tidak tampak pucat.
Intervensi :
1)
Kaji
adanya tanda terjadi syok
2)
Observasi
KU
3)
Observasi
TTV
4)
Monitor
tanda pendarahan
5)
Check
hemoglobin dan hematokrit
Rasional :
1) Mengetahui adanya penyebab syok.
2) Memantau kondisi pasien selama masa
perawatan terutama pada saat terjadi pendarahan sehingga segera diketahui tanda
syok.
3) TTV normal menandakan keadaan umum
baik.
4) Perdarahan cepat diketahui dapat
diatasi sehingga pasien tidak sampai syok.
5) Untuk mengetahui tingkat kebocoran
pembuluh darah yang dialami pasien sebagai acuan melakukan tindakan lebih
lanjut (Doengoes, 2005).
Daftar Pustaka
Doenges
M. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan,
Edisi 3. Jakarta: EGC.
Mansjoer,
dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran,
Edisi 3. Jakarta.
Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC
Bobak, (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta. EGC.
Smeltzer SC Dan Bare BG. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi
8, Volume 2. Jakarta: EGC.
Wiknjosastro, Hanifa. (2005). Ilmu Kandungan, Edisi Kedua. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Wiknjosastro, Hanifa. (2005). Ilmu Kebidanan, Edisi Kedua. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Price, Sylvia. (2002). Patofisiologi
Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit, Edisi 6, Volume 2. Jakarta : EGC.
Guyton and Hall. (2005). Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta : EGC.
No comments:
Post a Comment