Wednesday, November 18, 2015

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM REPRODUKSI : CANCER CERVIK


ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM REPRODUKSI : CANCER CERVIK
Ns. Nunung Nurhayati, S. Kep., M. Kep.

A.    Konsep dasar ca serviks
Carsinoma atau kanker adalah pertumbuhan ganas berasal dari jaringan epitel sedangkan serviks itu merupakan bagian dari rahim sebagai jalan lahir yang berbentuk silinder. Serviks uteri : leher rahim. Carsinoma serviks adalah suatu proses keganasan yang terjadi pada serviks, dimana pada keadaan ini terdapat kelompok sel yang abnormal yang terbentuk oleh jaringan yang tumbuh secara terus menerus dan tidak terbatas, tidak terkoordinasi, tidak berguna bagi tubuh sehingga jaringan di sekitarnya tidak dapat melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya dan penyakit ini dapat terjadi berulang.
Kanker serviks adalah tumor ganas yang tumbuh didalam leher rahim atau serviks yang terdapat pada bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina. (Diananda, Rama, 2009)
Kanker serviks merupakan gangguan pertumbuhan seluler dan merupakan kelompok penyakit yang dimanifestasikan dengan gagalnya untuk mengontrol proliferasi dan maturasi sel pada jaringan serviks. Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35 - 55 tahun, 90% dari kanker serviks berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju kedalam rahim. (Sarjadi, 2001)
B.     Anatomi dan Fisiologi
Serviks merupakan segmen uterus berada bagian bawah yang dilapisi epitel torak pensekresi mukus dalam kesinambungan langsung dengan epitel vagina, yang befungsi sebagai jalan lahir.
Ekstoserviks merupakan epitel berlapis yang gepeng serupa dengan vagina, dengan peralihan agak mendadak diantara keduanya, sambungan skuamakolumnar. Serviks mengalami perubahan/dramatis selama masa usia reproduktif maupun dalam siklus menstruasi. Sambungan skuamokolumnar normalnya terletak dalam kanalis endoservikalis, tetapi dapat berada jauh di luar pada ektoserviks, baik pasca persalinan atau atas dasar kongenital.
Mukus serviks dihasilkan sebagai respon terhadap estrogen dan dengan eversi sel torak pensekresi mucus pada ektoserviks, suatu sekret mukoid dan kadang-kadang purulen bisa dialami. Walaupun ini bisa menyebabkan secret yang berbau busuk, tetapi tidak ada makna patologi dan tampaknya tidak mengubah kapasitas reproduksi.
Mukus memberikan sawar bakteri diantara traktus genitalis atas yang steril dan vagina yang mengandung bakteri dan memudahkan sperma berjalan pada saat ovulasi. Arsitektur endoserviks mempunyai beberapa kripta yang memberikan penampungan untuk sperma, tempat sperma bertahan sampai beberapa hari setelah koitus.
Saluran yang terdapat pada serviks disebut kanalis servikalis berbentuk sebagai saluran lonjongan panjang 2,5 cm. Saluran ini dilapisi oleh kelenjar-kelenjar serviks, berbentuk sel-sel toraks bersilia dan berfungsi sebagai reseptakulum seminis. Pintu saluran serviks sebelah dalam disebut ostium uteri internum (OUI) dan pintu vagina (OUE) Ostium Oteri Eksternum. Kedua pintu ini penting dalam klinik misalnya pada penilaian jalannya persalinan, abortus dan sebagainya.

C.    Etiologi ca serviks
Menurut Diananda (2007), faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu :
a.       Usia > 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker leher rahim. Semakin tua usia seseorang, maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker laher rahim. Meningkatnya risiko kanker leher rahim pada usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia.
b.      Usia pertama kali menikah. Menikah pada usia kurang 20 tahun dianggap terlalu muda untuk melakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim 10-12 kali lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia > 20 tahun. Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya Universitas Sumatera.
c.       Dilihat dari sudah menstruasi atau belum. Kematangan juga bergantung pada sel-sel mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan seks pada usia remaja, paling rawan bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih rentan, sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu berubah setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari sel yang mati, sehingga perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks dilakukan pada usia di atas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi terlalu rentan terhadap perubahan.
d.      Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti pasangan. Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih banyak sehingga tidak terkendali sehingga menjadi kanker.
e.       Penggunaan antiseptik. Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan antiseptik maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks yang merangsang terjadinya kanker.
f.       Wanita yang merokok. Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukkan, lendir serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya yang ada di dalam rokok. Zat-zat tersebut akan menurunkan daya tahan serviks di samping meropakan ko-karsinogen infeksi virus. Nikotin, mempermudah semua selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi atau menjadi terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru-paru maupun serviks. Namun tidak diketahui dengan pasti berapa banyak jumlah nikotin yang dikonsumsi yang bisa menyebabkan kanker leher rahim.
g.      Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia. Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan seksual berisiko terkena virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab utama terjadinya kanker leher rahim sehingga wanita yang mempunyai riwayat penyakit kelamin berisiko terkena kanker leher rahim.
h.      Paritas (jumlah kelahiran). Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak, apalagi dengan jarak persalinan yang terlalu pendek. Dari berbagai literatur yang ada, seorang perempuan yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk golongan risiko tinggi untuk terkena penyakit kanker leher rahim. Dengan seringnya seorang ibu melahirkan, maka akan berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di organ reproduksinya yang akhirnya dampak dari luka tersebut akan memudahkan timbulnya Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab terjadinya penyakit kanker leher rahim.
i.        Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama. Penggunaan kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral mungkin dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim karena jaringan leher rahim merupakan salah satu sasaran yang disukai oleh hormon steroid perempuan. Hingga tahun 2004, telah dilakukan studi epidemiologis tentang hubungan antara kanker leher rahim dan penggunaan kontrasepsi oral. Meskipun demikian, efek penggunaan kontrasepsi oral terhadap risiko kanker leher rahim masih kontroversional. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Khasbiyah (2004) dengan menggunakan studi kasus kontrol. Hasil studi tidak menemukan adanya peningkatan risiko pada perempuan pengguna atau mantan pengguna kontrasepsi oral karena hasil penelitian tidak memperlihatkan hubungan dengan nilai p>0,05.

D.    Klasifikasi ca serviks
Penentuan tahapan klinis penting dalam memperkirakan penyebaran penyakit, membantu prognosis rencana tindakan, dan memberikan arti perbandingan dari metode terapi. Tahapan stadium klinis yang dipakai sekarang ialah pembagian yang ditentukan oleh The International Federation Of Gynecologi And Obstetric (FIGO). Pembagian ini didasarkan atas pemeriksaan klinik, radiologi, suktase endoserviks dan biopsi. Tahapan –tahapan tersebut yaitu :
a.       Karsinoma pre invasif;
b.      Karsinoma in-situ, karsinoma intraepitel; dan
c.       Kasinoma invasive.
Klasifikasi histologik kanker serviks ada beberapa, di antaranya :
1. Skuamous carcinoma
a.       Keratinizing
b.      Large cell non keratinizing
c.       Small cell non keratinizing
d.      Verrucous
2. Adeno carcinoma
a.       Endocervical
b.      Endometroid (adenocanthoma)
c.       Clear cell - paramesonephric
d.      Clear cell - mesonephric
e.       Serous
f.       Intestinal
3. Mixed carcinoma
a.       Adenosquamous
b.      Mucoepidermoid
c.       Glossy cell
d.      Adenoid cystic













Stadium kanker serviks menurut FIGO
Tahap O : Kanker insitu, kanker terbatas pada lapisan epitel, tidak terdapat bukti invasi.
Tahap I : Karsinoma yang benar - benar berada dalam serviks. Proses terbatas pada serviks walaupun ada perluasan ke korpus uteri.
Tahap Ia : Karsinoma mikroinvasif, bila membran basalis sudah rusak dan sel tumor sudah memasuki stoma lebih dari 1 mm, sel tumor tidak terdapat pada pembuluh limfa atau pembuluh darah.
Tahap Ib : Secara klinis sudah diduga adanya tumor yang histologik menunjukkan invasi serviks uteri.
Tahap II : Kanker vagina, lesi telah menyebar diluar serviks hingga mengenai vagina (bukan sepertiga bagian bawah ) atau area para servikal pada salah satu sisi atau kedua sisi.
Tahap IIa : Penyebarah hanya perluasan vagina, parametrium masih bebas dari infiltrate tumor.
TahapIIb : Penyebaran keparametrium, uni atau bilateral tetap belum sampai pada dinding panggul.
Tahap III : Kanker mengenai sepertiga bagian bawah vagina atau telah meluas kesalah satu atau kedua dinding panggul. Penyakit nodus limfe yang teraba tidak merata pada dinding panggul. Urogram IV menunjukkan salah satu atau kedua ureter tersumbat oleh tumor.
Tahap IIIa : Penyebaran sampai pada sepertiga bagian distal vagina, sedang ke parametrium tidak dipersoalkan.
Tahap IIIb : Penyebaran sudah sampai pada dinding panggul, tidak ditemukan daerah bebas infiltrasi antara tumor dengan dinding panggul ( frozen pelvic ) atau proses pada tingkatan klinik I dan II, tetapi sudah ada gangguan faal ginjal.
Tahap IV : Proses keganasan telah keluar dari panggul kecil dan melibatkan mukosa rektum dan atau kandang kemih (dibuktikan secara histologik ) atau telah terjadi metastasis keluar paanggul atau ketempat - tempat yang jauh.
Tahap IVa : Proses sudah keluar dari panggul kecil, atau sudah menginfiltrasi mukosa rektrum dan atau kandung kemih.
Tahap IVb : Telah terjadi penyebaran jauh. ( Dr Imam Rasjidi, 2010 ).

E.     Patofisiologi ca serviks
Karsinoma serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan intraepitel, berubah menjadi neoplastik, dan akhirnya menjadi kanker serviks setelah 10 tahun atau lebih. Secara histopatologi lesi pre invasif biasanya berkembang melalui beberapa stadium displasia (ringan, sedang dan berat) menjadi karsinoma insitu dan akhirnya invasif. Berdasarkan karsinogenesis umum, proses perubahan menjadi kanker diakibatkan oleh adanya mutasi gen pengendali siklus sel. Gen pengendali tersebut adalah onkogen, tumor supresor gene, dan repair genes. Onkogen dan tumor supresor gen mempunyai efek yang berlawanan dalam karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya transformasi maligna, sedangkan tumor supresor gen akan menghambat perkembangan tumor yang diatur oleh gen yang terlibat dalam pertumbuhan sel. Meskipun kanker invasive berkembang melalui perubahan intraepitel, tidak semua perubahan ini progres menjadi invasif. Lesi preinvasif akan mengalami regresi secara spontan sebanyak 3 -35%.
Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka regresi yang tinggi. Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu (KIS) berkisar antara 1 – 7 tahun, sedangkan waktu yang diperlukan dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3 – 20 tahun (TIM FKUI, 2005). Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali adanya perubahan displasia yang perlahan-lahan menjadi progresif. Displasia ini dapat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan gangguan keseimbangan hormon. Dalam jangka waktu 7 – 10 tahun perkembangan tersebut menjadi bentuk preinvasif berkembang menjadi invasif pada stroma serviks dengan adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke kanalis serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria dan akhirnya dapat menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria. Virus DNA ini menyerang epitel permukaan serviks pada sel basal zona transformasi, dibantu oleh faktor risiko lain mengakibatkan perubahan gen pada molekul vital yang tidak dapat diperbaiki, menetap, dan kehilangan sifat serta kontrol pertumbuhan sel normal sehingga terjadi keganasan. Berbagai jenis protein diekspresikan oleh HPV yang pada dasarnya merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut. Protein tersebut adalah E1, E2, E4, E5, E6, dan E7 yang merupakan segmen open reading frame (ORF). Di tingkat seluler, infeksi HPV pada fase laten bersifat epigenetic. Pada infeksi fase laten, terjadi terjadi ekspresi E1 dan E2 yang menstimulus ekspresi terutama terutama L1 selain L2 yang berfungsi pada replikasi dan perakitan virus baru. Virus baru tersebut menginfeksi kembali sel epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi imun tipe lambat dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang mengakibatkan penurunan ekspresi E1 dan E2. Penurunan ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih dari ± 50.000 virion per sel dapat mendorong terjadinya integrasi antara DNA virus dengan DNA sel penjamu untuk kemudian infeksi HPV memasuki fase aktif (Djoerban, 2000). Ekspresi E1 dan E2 rendah hilang pada pos integrasi ini menstimulus ekspresi onkoprotein E6 dan E7. Selain itu, dalam karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV, protein 53 (p53) sebagai supresor tumor diduga paling banyak berperan. Fungsi p53 wild type sebagai negative control cell cycle dan guardian of genom mengalami degradasi karena membentuk kompleks p53-E6 atau mutasi p53. Kompleks p53-E6 dan p53 mutan adalah stabil, sedangkan p53 wild type adalah labil dan hanya bertahan 20-30 menit.
Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis berjalan tanpa kontrol oleh p53. Oleh karena itu, p53 juga dapat dipakai sebagai indikator prognosis molekuler untuk menilai baik perkembangan lesi pre-kanker maupun keberhasilan terapi kanker serviks (Kaufman et al, 2000). Dengan demikian dapatlah diasumsikan bahwa pada kanker serviks terinfeksi HPV terjadi peningkatan kompleks p53-E6. Dengan pernyataan lain, terjadi penurunan p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV. Dan, seharusnya p53 dapat dipakai indikator molekuler untuk menentukan prognosis kanker serviks. Bila pembuluh limfe terkena invasi, kanker dapat menyebar ke pembuluh getah bening pada servikal dan parametria, kelenjar getah bening obtupator, iliaka eksterna dan kelenjar getah bening hipogastrika. Dari sini tumor menyebar ke kelenjar getah bening iliaka komunis dan pada aorta. Secara hematogen, tempat penyebaran terutama adalah paru-paru, kelenjar getah bening mediastinum dan supravesikuler, tulang, hepar, empedu, pankreas dan otak.

      Pathway :
Berhubungan seks < 17 th, merokok, higine seks yang kurang, virus HPV, sering melahirkan dg masalah persalinan, sering ganti pasangan, herediter,
 
Proses metaplasi
 
Dysplasia serviks
 
Ca serviks
 
                                        











 
                              








Text Box: Penipisan sel epitel





 
















































Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali dengan adanya perubahan displasia yang perlahan-lahan menjadi progresif. Displasia tidak melibatkan seluruh lapisan epitel serviks, yang dibagi menjadi displasia ringan, sedang dan berat. Displasia ini dapat muncul bila ada aktivitas regresi epitel yang meningkat misalnya akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan gangguan keseimbangan hormon. Displasia adalah neoplasma serviks intraepitel (CIN). Tingkatan adalah CIN 1 (displasia ringan), CIN 2 (displasia sedang), CIN 3 (displasia berat dan insitu).
Dalam jangka waktu 7 – 10 tahun, perkembangan tersebut menjadi bentuk invasi pada stroma serviks dengan adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat menimbulkan luka, perkembangan tersebut menjadi bentuk preinvasif, carsinoma insitu yang diawali fase statis dalam waktu 10 – 12 bulan berkembang menjadi bentuk invasi pada stroma serviks dengan adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofilik atau dapat berinfiltrasi ke kanalis serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks. Para metrium dan pada akhirnya dapat meluas ke arah segmen bawah uterus dan cavum uterus. Penyebab kanker ditentukan oleh stadium dan ukuran tumor, jenis histologik dan ada tidaknya invasi ke pembuluh darah, anemis, hipertensi dan adanya demam.

F.     Manifestasi klinis
a.       Keputihan yang makin lama makin berbau akibat infeksi dan nekrosis jaringan.
b.      Perdarahan yang dialami segera setelah senggama ( 75% - 80% )
c.       Perdarahan yang terjadi diluar senggama.
d.      Perdarahan spontan saat defekasi.
e.       Perdarahan diantara haid.
f.       Rasa berat dibawah dan rasa kering divagina.
g.      Anemia akibat pendarahan berulang.
h.      Rasa nyeri akibat infiltrasi sel tumor ke serabut syaraf.(Dr Rama Diananda, 2009 )

G.    Pemeriksaan penunjang pada ca serviks
a.       Sitologi
Pemeriksaan ini yang dikenal sebagai tes papanicolaous ( tes PAP ) sangat bermanfaat untuk mendeteksi lesi secara dini, tingkat ketelitiannya melebihi 90% bila dilakukan dengan baik. Sitologi adalah cara Skrining sel - sel serviks yang tampak sehat dan tanpa gejala untuk kemudian diseleksi. Kanker hanya dapat didiagnosis secara histologik.
b.      Kolposkopi
Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan kolposkopi, suatu alat yang dapat disamakan dengan sebuah mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya didalamnya ( pembesaran 6 - 40 kali ). Kalau pemeriksaan sitologi menilai perubahan morfologi sel - sel yang mengalami eksfoliasi, maka kolposkopi menilai perubahan pola epitel dan vascular serviks yang mencerminkan perubahan biokimia dan perubahan metabolik yang terjadi di jaringan serviks.
c.       Biopsi
Biopsi dilakukan didaerah abnormal jika SSP (sistem saraf pusat ) terlihat seluruhnya dengan kolposkopi. Jika SSP tidak terlihat seluruhnya atau hanya terlihat sebagian kelainan didalam kanalis serviskalis tidak dapat dinilai, maka contoh jaringan diambil secara konisasi. Biopsi harus dilakukan dengan tepat dan alat biopsy harus tajam sehingga harus diawetkan dalam larutan formalin 10%.
d.      Konisasi
Konosasi serviks ialah pengeluaran sebagian jaringan serviks sedemikian rupa sehingga yang dikeluarkan berbentuk kerucut ( konus ), dengan kanalis servikalis sebagai sumbu kerucut. Untuk tujuan diagnostik, tindakan konisasi selalu dilanjutkan dengan kuretase. Batas jaringan yang dikeluarkan ditentukan dengan pemeriksaan kolposkopi. Jika karena suatu hal pemeriksaan kolposkopi tidak dapat dilakukan, dapat dilakukan tes Schiller. Pada tes ini digunakan pewarnaan dengan larutan lugol ( yodium 5g, kalium yodida 10g, air 100ml ) dan eksisi dilakukan diluar daerah dengan tes positif ( daerah yang tidak berwarna oleh larutan lugol ). Konikasi diagnostik dilakukan pada keadaan - keadaan sebagai berikut :
1)      Proses dicurigai berada di endoserviks.
2)      Lesi tidak tampak seluruhnya dengan pemeriksaan kolposkopi.
3)      Diagnostik mikroinvasi ditegakkan atas dasar specimen biopsy.
4)      Ada kesenjangan antara hasil sitologi dan histopatologik. (Prof. R Sulaiman, 2006).
e.       Pemeriksaan pap smear
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien yang tidak memberikan keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada sekret yang diambil dari porsi serviks. Pemeriksaan ini harus mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau ketika telah melakukan aktivitas seksual sebelum itu. Setelah tiga kali hasil pemeriksaan pap smear setiap tiga tahun sekali sampai usia 65 tahun. Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker leher rahim secara akurat dan dengan biaya yang tidak mahal, akibatnya angka kematian akibat kanker leher rahim pun menurun sampai lebih dari 50%. Setiap wanita yang telah aktif secara seksual sebaiknya menjalani pap smear secara teratur yaitu 1 kali setiap tahun. Apabila selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil pemeriksaan yang normal, maka pemeriksaan pap smear bisa dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali. Hasil pemeriksaan pap smear adalah sebagai berikut :
1)      Normal.
2)      Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas).
3)      Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas).
4)      Karsinoma in situ (kanker terbatas pada lapisan serviks paling luar).
5)      Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam atau ke organ tubuh lainnya).
f.       Tes Schiller Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan yodium. Pada serviks normal akan membentuk bayangan yang terjadi pada sel epitel serviks karena adanya glikogen. Sedangkan pada sel epitel serviks yang mengandung kanker akan menunjukkan warna yang tidak berubah karena tidak ada glikogen.

g.      Radiologi
1)      Pelvik limphangiografi, yang dapat menunjukkan adanya gangguan pada saluran pelvik atau peroartik limfe.
2)      Pemeriksaan intravena urografi, yang dilakukan pada kanker serviks tahap lanjut, yang dapat menunjukkan adanya obstruksi pada ureter terminal. Pemeriksaan radiologi direkomendasikan untuk mengevaluasi kandung kemih dan rektum yang meliputi sitoskopi, pielogram intravena (IVP), enema barium, dan sigmoidoskopi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau scan CT abdomen / pelvis digunakan untuk menilai penyebaran lokal dari tumor dan / atau terkenanya nodus limpa regional.

H.    Penatalaksanaan medis
Makin tinggi diagnosis makin baik hasil terapi., dan terapi karsinoma serviks dilakukan bilamana diagnosis telah dipastikan secara histologik dan direncanakan dengan matang oleh suatu tim.
Disamping terapi karsinoma serviks didasarkan atas stadium juga didasarkan keinginan dan mempertahankan fungsi reproduksi (hanya pada stadium Ia). Pada stadium 0 dapat dilakukan biopsi kerucut (conebiopsy) meskipun untuk diagnostik, dapat juga terapeutik. Bila penderita cukup tua atau sudah punya anak, uterus dapat diangkat, agar penyakit tidak kambuh dapat dilakukan histerektomi sederhana (simple vagina hysterectomy).
Staidum Ia bila masih ingin punya anak dilakukan amputasi kerucut secara radikal, bila tidak ingin punya anak lagi  dilakukan histerektomi total. Stadium IB dan Ia dilakukan histerektomi radikal + anjuran therapy. Stadium IIB sampai IVA dilakukan kemoterapi dan atau radioterapi. Sedangkan bila sudah sampai stadium IVB dilakukan radioterapi saja.
Pengobatan lesi prekanker pada serviks tergantung kepada beberapa faktor berikut:
1)      Tingkatan lesi (apakah tingkat rendah atau tingkat tinggi)
2)      Rencana penderita untuk hamil lagi
3)      Usia dan keadaan umum penderita.
4)      Lesi tingkat rendah biasanya tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut, terutama jika daerah yang abnormal seluruhnya telah diangkat pada waktu pemeriksaan biopsi. Tetapi penderita harus menjalani pemeriksaan Pap smear dan pemeriksaan panggul secara rutin.
Pengobatan pada lesi prekanker bisa berupa:
1)      Kriosurgeri (pembekuan)
2)      Kauterisasi (pembakaran, juga disebut diatermi)
3)      Pembedahan laser untuk menghancurkan sel-sel yang abnormal tanpa melukai jaringan yang sehat di sekitarnya
4)      LEEP (loop electrosurgical excision procedure) atau konisasi.
Setelah menjalani pengobatan, penderita mungkin akan merasakan kram atau nyeri lainnya, perdarahan maupun keluarnya cairan encer dari vagina. Pemilihan pengobatan untuk kanker serviks tergantung kepada lokasi dan ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan umum penderita dan rencana penderita untuk hamil lagi.
Pembedahan
Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar), seluruh kanker seringkali dapat diangkat dengan bantuan pisau bedah ataupun melalui LEEP. Dengan pengobatan tersebut, penderita masih bisa memiliki anak. Karena kanker bisa kembali kambuh, dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan ulang dan Pap smear setiap 3 bulan selama 1 tahun pertama dan selanjutnya setiap 6 bulan.
Jika penderita tidak memiliki rencana untuk hamil lagi, dianjurkan untuk menjalani histerektomi.
a.       Pada kanker invasif, dilakukan histerektomi dan pengangkatan struktur di sekitarnya (prosedur ini disebut histerektomi radikal) serta kelenjar getah bening. Pada wanita muda, ovarium (indung telur) yang normal dan masih berfungsi tidak diangkat.
b.      Terapi penyinaran
Terapi penyinaran (radioterapi) efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas pada daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya. Ada 2 macam radioterapi:
Radiasi eksternal : sinar berasar dari sebuah mesin besar. Penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu.
Radiasi internal : zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan langsung ke dalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu.
Efek samping dari terapi penyinaran adalah:
1)      Iritasi rektum dan vagina
2)      Kerusakan kandung kemih dan rektum
3)      Ovarium berhenti berfungsi.
Kemoterapi
Jika kanker telah menyebar ke luar panggul, kadang dianjurkan untuk menjalani kemoterapi. Pada kemoterapi digunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel kanker. Obat anti-kanker bisa diberikan melalui suntikan intravena atau melalui mulut. Kemoterapi diberikan dalam suatu siklus, artinya suatu periode pengobatan diselingi dengan periode pemulihan, lalu dilakukan pengobatan, diselingi denga pemulihan, begitu seterusnya.
Adapun obat-obat yang dipakai sebagai kemoterapi diberikan 5 seri selang 3-4 minggu.
Premedikasi :
1)      Antalgin injeksi.                                                                     
2)      Dipenhydramine injeksi.
3)      Dexamethason injeksi.
4)      Metochlorpropamide injeksi.
5)      Furosemide injeksi.
Sitostatika :
1)      Ciplatinum (50 mg/m2 luas permukaan tubuh per infus hari I).
2)      Vincristin (0,5 mg/m2 luas permukaan tubuh intraevenous hari I).
3)      Bleomisin (30 mg) per infus hari II.
4)      Mitomicin (40 mg dosis tunggal, dianjurkan dengan radioterapi).

Terapi Biologis
Pada terapi biologis digunakan zat-zat untuk memperbaiki sistem kekebalan tubuh dalam melawan penyakit. Terapi biologis dilakukan pada kanker yang telah menyebar ke bagian tubuh lainnya. Yang paling sering digunakan adalah interferon, yang bisa dikombinasikan dengan kemoterapi.
Efek Samping Pengobatan
Selain membunuh sel-sel kanker, pengobatan juga menyebabkan kerusakan pada sel-sel yang sehat sehingga seringkali menimbulkan efek samping yang tidak menyenangkan. Efek samping dari pengobatankanker sangat tergantung kepada jenis dan luasnya pengobatan. Selain itu, reaksi dari setiap penderita juga berbeda-beda. Metoda untuk membuang atau menghancurkan sel-sel kanker pada permukaan serviks sama dengan metode yang digunakan untuk mengobati lesi prekanker. Efek samping yang timbul berupa kram atau nyeri lainnya, perdarahan atau keluar cairan encer dari vagina. Beberapa hari setelah menjalani histerektomi, penderita bisa mengalami nyeri di perut bagian bawah. Untuk mengatasinya bisa diberikan obat pereda nyeri.
Penderita juga mungkin akan mengalami kesulitan dalam berkemih dan buang air besar. Untuk membantu pembuangan air kemih bisa dipasang kateter. Beberapa saat setealh pembedahan, aktivitas penderita harus dibatasi agar penyembuhan berjalan lancar. Aktivitas normal (termasuk hubungan seksual) biasanya bisa kembali dilakukan dalam waktu 4-8 minggu.
Setelah menjalani histerektomi, penderita tidak akan mengalami menstruasi lagi. Histerektomi biasanya tidak mempengaruhi gairah seksual dan kemampuan untuk melakukan hubungan seksual. Tetapi banyak penderita yang mengalami gangguan emosional setelah histerektomi. Pandangan penderita terhadap seksualitasnya bisa berubah dan penderita merasakan kehilangan karena dia tidak dapat hamil lagi.
Selama menjalani radioterapi, penderita mudah mengalami kelelahan yang luar biasa, terutama seminggu sesudahnya. Istirahat yang cukup merupakan hal yang penting, tetapi dokter biasanya menganjurkan agar penderita sebisa mungkin tetap aktif.
Pada radiasi eksternal, sering terjadi kerontokan rambut di daerah yang disinari dan kulit menjadi merah, kering serta gatal-gatal. Mungkin kulit akan menjadi lebih gelap. Daerah yang disinari sebaiknya mendapatkan udara yang cukup, tetapi harus terlindung dari sinar matahari dan penderita sebaiknya tidak menggunakan pakaian yang bisa mengiritasi daerah yang disinari.
Biasanya, selama menjalani radioterapi penderita tidak boleh melakukan hubungan seksual. Kadang setelah radiasi internal, vagina menjadi lebh sempit dan kurang lentur, sehingga bisa menyebabkan nyeri ketika melakukan hubungan seksual. Untuk mengatasi hal ini, penderita diajari untuk menggunakan dilator dan pelumas dengan bahan dasar air. Pada radioterapi juga bisa timbul diare dan sering berkemih.
Efek samping dari kemoterapi sangat tergantung kepada jenis dan dosis obat yang digunakan. Selain itu, efek sampingnya pada setiap penderita berlainan. Biasanya obat anti-kanker akan mempengaruhi sel-sel yang membelah dengan cepat, termasuk sel darah (yang berfungsi melawan infeksi, membantu pembekuan darah atau mengangkut oksigen ke seluruh tubuh). Jika sel darah terkena pengaruh obat anti-kanker, penderita akan lebih mudah mengalami infeksi, mudah memar dan mengalami perdarahan serta kekurangan tenaga.
Sel-sel pada akar rambut dan sel-sel yang melapisi saluran pencernaan juga membelah dengan cepat. Jika sel-sel tersebut terpengaruh oleh kemoterapi, penderita akan mengalami kerontokan rambut, nafsu makannya berkurang, mual, muntah atau luka terbuka di mulut. Terapi biologis bisa menyebabkan gejala yang menyerupai flu, yaitu menggigil, demam, nyeri otot, lemah, nafsu makan berkurang, mual, muntah dan diare. Kadang timbul ruam, selain itu penderita juga bisa mudah memar dan mengalami perdarahan.
I. Asuhan Keperawatan pada ca serviks
1. Pengkajian
a.       Identitas klien
b.      Riwayat penyakit sekarang, dahulu, keluarga.
c.       Usia saat pertama kali melakukan hubungan seksual
Salah satu faktor yang menyebabkan kanker serviks ini adalah menikah dibawah umur 18 tahun.
d.      Perilaku seks berganti - ganti pasangan
Dengan perilaku tersebut kemungkinan virus penyebab terjadinya kanker serviks dapat ditularkan dengan mudah.
e.       Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi rendah dikaitkan erat karena tidak dapat melakukan pap smear secara rutin dan pola hubungan seksual yang tidak sehat.
f.       Tingkat pengetahuan
Tingkat pengetahuan yang rendah dapat juga dihubungkan dengan kurangnya pemahaman mengenai pencegahan dan penaganan kanker serviks.
g.      Aspek mental: harga diri, identitas diri, gambaran diri, konsep diri, peran diri, emosional.
h.      Perineum; keputihan, bau, kebersihan Keputihan yang gatal dan berbau adalah tanda dari kanker leher rahim yang mulai mengalami metastase.
i.        Nyeri ( daerah panggul atau tungkai )
Nyeri bisa diakibatkan oleh karena sel kanker yang sudah mendesak dan abnormalita pada organ - organ daerah panggul.
j.        Perasaan berat daerah perut bagian bawah
Sel - sel kanker yang mendesak mengakibatkan gangguan pada syaraf - syaraf disekitar panggul dan perut, sehingga menimbulkan perasaan berat pada daerah tersebut.
k.      Gaya hidup
Gaya hidup yang tidak sehat, seperti makan - makanan cepat saji dapat memicu sel kanker untuk tumbuh dengan cepat, pada orang – orang dengan gemar berganti - ganti pasangan dengan mengesampingkan efek negatifnya kemungkinan besar dapat timbul gejala - gejala tersebut sehingga mengarah pada terjadinya kanker leher rahim.
l.        Siklus Menstruasi
Siklus menstruasi yang tidak teratur atau terjadi perdarahan diantara siklus haid adalah salah satu tanda gejala kanker leher rahim.
m.    Riwayat Keluarga
Seorang ibu yang mempunyai riwayat ca serviks.(Doengoes, 2005)

2. Diagnosa Keperawatan
a.       Nyeri berhubungan dengan penekanan sel kanker pada syaraf dan kematian sel.
b.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah karena proses eksternal Radiologi
c.       Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan pengeluaran pervaginam (darah, keputihan).
d.      Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang prosedur pengobatan.
e.       Resiko tinggi kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan efek dari prosedur pengobatan.
f.       Resiko injuri berhubungan dengan kelemahan dan kelelehan.
g.      Gangguan pola seksual berhubungan dengan metaplasia penyakit.
h.      Resti terjadinya syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan pervaginam.

3. Intervensi Keperawatan
a.       Nyeri berhubungan dengan penekanan sel kanker pada syaraf dan kematian sel.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama nyeri hilang atau berkurang.
Kriteria :
a)      pasien mengatakan nyeri hilang atau berkurang dengan skala nyeri 0- 3.
b)      Ekspresi wajah rileks.
c)      Tanda - tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
a)      Kaji riwayat nyeri, lokasi, frekuensi, durasi, intensitas, dan skala nyeri.
b)      Berikan tindakan kenyamanan dasar: relaksasi, distraksi, imajinasi, message.
c)      Awasi dan pantau TTV.
d)     Berikan posisi yang nyaman.
e)      Kolaborasi pemberian analgetik.
Rasional :
a)      Mengetahui tingkat nyeri pasien dan menentukan tindakan yang akan dilakukan selanjutnya.
b)      Mengurangi rasa nyeri.
c)      Mengetahui tanda kegawatan.
d)     Memberikan rasa nyaman dan membantu mengurangi nyeri.
e)      Mengontrol nyeri maksimum.

b.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah karena proses eksternal Radiologi .
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan status nutrisi dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Kriteria hasil :
1)      Pasien menghabiskan makanan yang telah diberikan oleh petugas.
2)      Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik.
3)      Berat badan klein normal.
4)      Hasil hemoglobin dalam batas normal.
Intervensi :
1)      Kaji status nutrisi pasien
2)      Ukur berat badan setiap hari atau sesuai indikasi.
3)      Dorong Pasien untuk makan - makanan tinggi kalori, kaya protein dan tetap sesuai diit ( Rendah Garam ).
4)      Pantau masukan makanan setiap hari.
5)      Anjurkan pasien makan sedikit tapi sering.
Rasional :
1)      Untuk mengetahui status nutrisi
2)      Memantau peningkatan BB.
3)      Kebutuhan jaringan metabolik adequat oleh nutrisi.
4)      Identifikasi defisiensi nutrisi.
5)      Agar nutrisi terpenuhi
c.       Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan pengeluaran pervaginam ( darah, keputihan ).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan jam pasien tidak terjadi penyebaran infeksi dan dapat menjaga diri dari infeksi .
Kriteria hasil :
1)      Tidak ada tanda - tanda infeksi pada area sekitar serviks
2)      Tanda - tanda vital dalam batas normal.
3)      Tidak terjadi nasokomial hilang, baik dari perawat ke pasien, pasien keluarga, pasien ke pasien lain dan klien ke pengunjung.
4)      Tidak timbul tanda - tanda infeksi karena lingkungan yang buruk
5)      .Hasil hemoglobin dalam batas normal, dilihat dari leukosit.
Intervensi :
1)      Kaji adanya infeksi disekitar area serviks.
2)      Tekankan pada pentingnya personal hygiene.
3)      Pantau tanda - tanda vital terutama suhu.
4)      Berikan perawatan dengan prinsip aseptik dan antisepik.
5)      Tempatkan klien pada lingkungan yang terhindar dari infeksi.
6)      Koloborasi pemeberian antibiotik.
Rasional :
1)      Mengurangi terjadinya infeksi.
2)      Agar tidak terjadi penyebaran infeksi.
3)      Mencegah terjadinya infeksi.
4)      Membantu mempercepat penyembuhan.
5)      Mencegah terjadinya infeksi.
d.      Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang prosedur pengobatan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kecemasan hilang atau berkurang.
Kriterial hasil :
1)      Pasien mengatakan perasaan cemasnya hilang atau berkurang.
2)      Terciptanya lingkungan yang aman dan nyaman bagi pasien.
3)      Pasien tampak rileks, tampak senang karena mendapat perhatian.
4)      Keluarga atau orang terdekat dapat mengenai dan mengklarifikasi rasa takut.
5)      Pasien mendapat informasi yang akurat, serta prognosis dan pengobatan dan klien mendapat dukungan dari terdekat.
Intervensi :
1)      Dorong pasien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
2)      Beri lingkungan terbuka dimana pasien merasa aman untuk mendiskusikan perasaan atau menolak untuk bicara.
3)      Pertahankan bentuk sering bicara dengan pasien, bicara dengan menyentuh klien.
4)      Bantu pasien atau orang terdekat dalam mengenali dan mengklarifikasi rasa takut.
5)      Beri informasi akurat, konsisten mengenai prognosis, pengobatan serta dukungan orang terdekat.
Rasional :
1)      Memberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketakutannya.
2)      Membantu mengurangi kecemasan.
3)      Meningkatkan kepercayaan klien.
4)      Meningkatkan kemampuan kontrol cemas.
5)      Mengurangi kecemasan.
e.       Resiko tinggi kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan efek dari prosedur pengobatan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi kerusakan intergritas kulit.
Kriteria hasil :
1)      Pasien atau keluarga dapat mempertahankan keberhasilan pengobatan tanpa mengiritasi kulit.
2)      Pasien dan keluarga dapat mencegah terjadi infeksi atau trauma kulit.
3)      Pasien keluarga beserta TIM medis dapat meminimalkan trauma pada area terapi radiasi.
4)      Pasien, keluarga beserta tim medis dapat menghindari dan mencegah cedera dermal karena kulit sangat sensitif selama pengobatan dan setelahnya.
Intervensi :
1)      Mandikan dengan air hangat dan sabun ringan.
2)      Dorong pasien untuk menghindari menggaruk dan menepuk kulit yang kering dari pada menggaruk.
3)      Tinjau protokol perawatan kulit untuk pasien yang mendapat terapi radiasi.
4)      Anjurkan memakai pakaian yang lembut dan longgar pada, biarkan pasien menghindari penggunaan bra bila ini memberi tekanan.
Rasional :
1)      Mempertahankan kebersihan kulit tanpa mengiritasi kulit.
2)      Membantu menghindari trauma kulit.
3)      Efek kemerahan dapat terjadi pada terapi radiasi.
4)      Meningkatkan sirkulasi dan mencegah tekanan pada kulit.
f.       Resiko injuri berhubungan dengan kelemahan dan kelelahan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi cedera atau injuri.
Kriteria hasil :
1)      Pasien dapat meningkatkan keamanan ambulasi.
2)      Pasien mampu menjaga keseimbangan tubuh ketika akan melakukan aktifitas.
3)      Pasien mampu meningkatkan posisi fungsional pada ektremitas.
Intervensi :
1)      Intruksikan dan bantu dalam mobilitas secara tepat.
2)      Anjurkan untuk berpegangan tangan atau minta bantuan pada keluarga dalam melakukan suatu kegiatan.
3)      Pertahankan posisi tubuh tepat dengan dukungan alat bantuan.
Rasional :
1)      Membantu mengurangi kelelahan.
2)      Membantu pasien untuk melakukan kegiatan.
3)      Membantu mempercepat penyembuhan.
g.      Gangguan pola seksual berhubungan dengan metaplasia penyakit.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama pasien mampu mempertahankan aktifitas seksual pada tingkat yang diinginkan bila mungkin.
Kriteria hasil :
1)      Pasien mampu memahami tentang arti seksualitas, seksualitas dapat diungkapkan dengan bentuk perhatian yang diberikan seseorang.
Intervensi :
1)      Kaji masalah- masalah perkembangan daya hidup.
2)      Catat pemikiran pasien/ orang- orang yang berpengaruh bagi pasien mengenai seksualitas
3)      Evaluasi faktor-faktor budaya dan religius/ nilai dan konflik-konflik yang muculberikan suasana yang terbuka dalam diskusi mengenai masalah seksualitas.
4)      Tingkatkan keleluasaan diri bagi pasien dan orang- orang yang penting bagi pasien.
Rasional :
a.       Faktor- faktor seperti menoupose dan proses penuan remaja dan dewasa awal yang perlu masukan dalam pertimbangan mengenai seksualitas dalam penyakit yang perawatan yang lama.
b.      Untuk memberikan pandangan bahwa keterbatasan kondisi/lingkungan akan berpengaruh pada kemampuan seksual tetapi mereka takut untuk menanyakan secara lansung untuk mempengaruhi persepsi pasien terhadap masalah seksual yang muncul.
c.       Apabila masalah- masalah diidentifikasikan dan di diskusikan maka pemecahan masalah dapat ditemukan
d.      Perhatikan penerimaan akan kebutuhan keintiman dan tingkatkan makna terhadap pola interaksi yang telah dibina
h.      Resti terjadinya syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan pervaginam.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan syok berkurang atau tidak terjadi syok.
Kriterial hasi :
1)      pasien tidak mengalami anemia
2)      Tanda - tanda vital stabil.
3)      Pasien tidak tampak pucat.
Intervensi :
1)      Kaji adanya tanda terjadi syok
2)      Observasi KU
3)      Observasi TTV
4)      Monitor tanda pendarahan
5)      Check hemoglobin dan hematokrit
Rasional :
1)      Mengetahui adanya penyebab syok.
2)      Memantau kondisi pasien selama masa perawatan terutama pada saat terjadi pendarahan sehingga segera diketahui tanda syok.
3)      TTV normal menandakan keadaan umum baik.
4)      Perdarahan cepat diketahui dapat diatasi sehingga pasien tidak sampai syok.
5)      Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien sebagai acuan melakukan tindakan lebih lanjut (Doengoes, 2005).
Daftar Pustaka
Doenges M. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC.
Mansjoer, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta.
Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC
Bobak, (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta. EGC.
Smeltzer SC Dan Bare BG. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 2. Jakarta: EGC.
Wiknjosastro, Hanifa. (2005). Ilmu Kandungan, Edisi Kedua. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Wiknjosastro, Hanifa. (2005). Ilmu Kebidanan, Edisi Kedua. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Price, Sylvia. (2002). Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit, Edisi 6, Volume 2. Jakarta : EGC.
Guyton and Hall. (2005). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta : EGC.


No comments:

Post a Comment