Monday, April 6, 2015

PATIENT CENTERED CARE

PATIENT CENTERED CARE
oleh
Ns. Nunung Nurhayati, S. Kep., M. Kep.
STIKep PPNI Jawa Barat

    The Institute of Medicine (IOM) mendefinisikan Patient-Centered Care adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang menciptakan hubungan kerjasama yang baik diantara praktisi kesehatan, pasien, dan keluarganya (jika diperlukan) untuk menjamin bahwa keputusan yang dibuat menghormati keinginan pasien, kebutuhan pasien, pilihan pasien, menjamin pasien mendapatkan pengetahuan serta mendukung pasien untuk mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam perawatan mereka sendiri (Shaller, D, 2007).
    Faktor-faktor yang mempengaruhi PCC :
1.    Kepemimpinan
2.    Visi Strategis dan  komunikatif
3.    Keterlibatan Pasien dan Keluarga
4.    Lingkungan kerja yang kondusif 
5.    Pengukuran Sistematis dan Umpan balik
6.    Kualitas lingkungan fisik
7.    Dukungan teknologi
    Patient-Centered Care (PCC) merupakan komponen penting dalam pelayanan kesehatan. Berbagai model dan kerangka kerja PCC dikembangkan untuk menjelaskan PCC. Terdapat tiga model yang paling berpengaruh untuk menjelaskan komponen dari PCC.
1.    The Picker/Commonwealth dimensions
the Picker/Commonwealth dimensions mengidentifikasi tujuh aspek penting dalam PCC, yaitu: (Conway, Johnson, Edgman-Levitan et al, 2006).
·    Menghormati nilai-nilai yang dianut pasien, pilihan dan kebutuhan pasien.
·    Koordinasi dan integrasi.
·    Informasi, komunikasi dan pendidikan.
·    Kenyamanan fisik, meliputi manajemen nyeri, membantu aktivitas keseharian pasien, kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekitar.
·    Dukungan emosional, pengurangan rasa takut dan kecemasan tentang status kesehatan, prognosis, dampak penyakit terhadap pasien, keluarga dan keuanganya.
·    Melibatkan keluarga dan teman pasien dalam pembuatan keputusan,
·    Transisi dan keberlanjutan sebagai informasi.
2.    The Institute for Family-Centered Care focus on Collaborative Partnership
PCC sebagai pendekatan inovatif untuk merencanakan, menyampaikan dan mengevaluasi layanan kesehatan yang berfokus pada hubungan yang menguntungkan diantara pasien, keluarganya dan pemberi layanan kesehatan. Konsep inti dari PCC meliputi:
·    Penghormatan dan martabat.
·    Sharing informasi.
·    Partisipasi.
·    Kolaborasi.
3.    Planetree model
Model ini memadukan komponen healing meliputi pikiran, tubuh dan spirit yang berpusat pada pasien, nilai-nilai dasar, holistik dan terintegrasi. Model ini menjelaskan ada sembilan elemen yang mendasari, yaitu:
·    Mementingkan interaksi antar sesama manusia dalam arti memberikan layanan terhadap individu, berbuat baik dan selalu ada atau hadir untuk pasien
·    Menginformasikan, menguatkan orientasi dan pengetahuan pasien
·    Mengintegrasikan hubungan kerjasama dengan pasien dan keluarga dalam semua aspek perawatan
·    Memberikan asuhan dalam aspek makanan dan nutrisi
·    Menyatukan spiritual dan sumber-sumber dari dalam diri pasien untuk healing
·    Menyatukan pijatan dan sentuhan
·    Menyatukan seni (musik, bentuk-bentuk kesenian visual) dalam proses healing
·    Menyatukan praktik komplementer dan terapi alternatif dalam layanan konvensional
·    Menciptakan lingkungan yang nyaman meliputi bentuk dan rancanganya.

    Case Management
    Konsep dasar manajemen kasus meliputi koordinasi dari pelayanan yang berkualitas untuk mengidentifikasi kebutuhan spesifik pasien dengan biaya yang efektif dan untuk mencapai outcome  yang positif. CMSA mendefinisikan manajemen kasus adalah proses kolaboratif meliputi pengkajian, perencanaan, fasilitasi, koordinasi pelayanan, evaluasi dan advocacy untuk mengakomodasi kebutuhan pasien dan keluarga meliputi komunikasi dan penyediaan sumber-sumber untuk mencapai outcome  dan pembiayaan yang efektif (CMSA, 2010).
    Lingkup setting manajemen kasus adalah pembayaran, provider, pemerintah, pekerja, komunitas, dan lingkungan. Pelaksanaan manajemen kasus sangat kompleks dan komprehensif meliputi empat faktor:
1.    Dalam konteks pelayanan, seperti pencegahan dan kesejahteraan, masalah akut atau rehabilitasi pasien
2.    Kondisi kesehatan dan kebutuhan pasien seperti pasien kritis, asma, gagal ginjal, perawatan kanker terminal
3.    Metode yang digunakan seperti pengaturan pelayanan, kompensasi pekerja, pelayanan medis, perlindungan medis
4.    Pemberi layanan kesehatan profesional sebagai case manajer seperti registered nurse, pekerja sosial, dokter, konselor rehabilitasi.
    Peranan seorang manajer kasus meliputi:
1.    Melakukan pengkajian komprehensif terhadap status kesehatan klien dan kebutuhan psikologis, meliputi kelemahan dan kekurangan, serta meningkatkan perencanaan manajemen kasus secara kolaborasi dengan klien dan keluarga atau pemberi asuhan.
2.    Merencanakan bersama klien, keluarga atau pemberi asuhan, penyedia layanan kesehatan, pihak pembayar, komunitas, untuk memaksimalkan respon layanan kesehatan dan outcome  pembiayaan yang efektif.
3.    Memfasilitasi komunikasi dan koordinasi antara tim pemberi asuhan, melibatkan klien dalam proses pengambilan keputusan untuk meminimalkan pelayanan yang terpisah-pisah.
4.    Memberikan pendidikan pada klien, keluarga atau pemberi asuhan dan anggota dalam tim pemberi asuhan tentang pilihan terapi, sumber komunitas, jaminan keuntungan, masalah psikologis, manajemen kasus.
5.    Menguatkan klien untuk memecahkan masalah dengan mengeksplor pilihan perawatan, jika tersedia dan rencana alternatif, jika dibutuhkan untuk mencapai outcome  yang diharapkan
6.    Mendukung penggunaan layanan kesehatan yang cocok dan mendorong untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan menjaga pembiayaan yang efektif dengan berbasis pada kasus demi kasus
7.    Membantu klien dalam transisi perawatan yang aman untuk menuju level selanjutnya
8.    Mendukung pasien untuk self-advocacy dan self-determination
9.    Mengadvocacy antara pasien dan pihak pembayar untuk memfasilitasi outcome  positif untuk pasien, tim pemberi perawatan dan pihak pembayar. Meskipun demikian, jika konflik terjadi, kebutuhan klien tetap menjadi prioritas.
    Proses manajemen kasus meliputi aspek etik dan legal dalam lingkup praktis manajer kasus, menggunakan pemikiran kritis dan pengetahuan berdasar bukti. Langkah primer dalam proses manajemen kasus adalah (Powell&Tahan,2008):
1.    Identifikasi dan seleksi klien
Fokus pada identifikasi klien yang akan diuntungkan dari layanan manajemen kasus. Langkah ini meliputi pemilihan pemberi layanan manjemen kasus.
2.    Pengkajian dan identifikasi masalah/ peluang
Dimulai setelah seleksi kasus komlit dan dimasukan dalam manajemen kasus dan terjadi secara intermitten, sebagai kebutuhan dalam penanganan kasus.
3.    Meningkatkan perencanaan manajemen kasus
Menetapkan tujuan dari intervensi dan membuat prioritas terhadap kebutuhan klien, yang mencerminkan tipe layanan dan sumber yang tersedia dalam rangka untuk mewujudkan tujuan atau outcome  yang diharapkan
4.    Implementasi dan koordinasi aktivitas perawatan
Mewujdkan rencana manajemen kasus dalam sebuah kegiatan
5.    Evaluasi rencana manajemen kasus dan rencana tindak lanjut
Meliputi evaluasi satatus klien dan tujuan yang terkait dengan outcome
6.    Mengakiri proses manajemen kasus
Membuat kesimpulan akhir terhadap perawatan dan atau episode sakit. Proses fokus pada dihentikanya manajemen kasus saat pasien mencapai level fungsi kesehatan yang lebih tinggi, outcome  terbaik yang mungkin dicapai, atau kebutuhan/ keinginan berubah dari klien.

    Standard praktek manajemen kasus terdiri dari :
1.    Standard: Proses Seleksi Pasien untuk Manajemen Kasus
2.    Standard: Pengkajian Pasien
3.    Standard: Identifikasi Masalah dan Kesempatan
4.    Standard: Perencanaan
5.    Standard: Monitoring
6.    Standarad: Outcome
7.    Standard: Terminasi/penghentian Pelayanan Management Kasus
8.    Standard: Fasilitas, Koordinasi, dan Kolaborasi
9.    Standard: Kualifikasi untuk Manager Kasus
10.    Standard: Legal
11.    Standard: Etik
12.    Standard: Advokasi
13.    Standard: Kompetensi Kebudayaan
14.    Standard: Sumber management dan Penatalayanan
15.    Standard: Penelitian dan Pemanfaatan Penelitian
E. QUALITY OF CARE
1.    Penjaminan Mutu
    Mutu Pelayanan Kesehatan, yang meliputi kinerja  yang menunjukan  tingkat  kesempurnaan pelayanan  kesehatan, tidak  saja  yang dapat menimbulkan kepuasan  bagi pasien sesuai  dengan kepuasan rata-rata penduduk tetapi juga  sesuai  dengan  standar  dan kode etik  profesi yang sudah  ditetapkan.
    Quality: The totality of features and characteristic of product or service that bear on its ability to satisfy or implied needs (American Society For Quality Control, 1989) Definisi mengenai mutu telah banyak dijelaskan oleh para ahli. Azwar (1996) menjelaskan bahwa mutu adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang diamati dan juga merupakan kepatuhan terhadap standar  yang telah ditetapkan, sedangkan Tappen (1995) menjelaskan bahwa mutu adalah penyesuaian terhadap keinginan pelanggan dan sesuai dengan standar yang berlaku serta tercapainya tujuan yang diharapkan.
2.    Dimensi Mutu
    Irawan (2006) merumuskan lima dimensi mutu yang menjadi dasar untuk mengukur kepuasan, yaitu :
·    Tangible (bukti langsung), yang meliputi fasilitas fisik, peralatan, personil, dan media komunikasi yang dapat dirasakan langsung oleh pelanggan. Dan untuk mengukur dimensi mutu ini perlu menggunakan indera penglihatan.
·    Reliability (keandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang tepat dan terpercaya. Pelayanan yang terpercaya artinya adalah konsisten. Sehingga reliability mempunyai dua aspek penting yaitu kemampuan memberikan pelayanan seperti yang dijanjikan dan seberapa jauh mampu memberikan pelayanan yang tepat atau akurat.
·    Responsiveness (ketanggapan), yaitu kesediaan/kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat. Dengan kata lain bahwa pemberi pelayanan harus responsif terhadap kebutuhan pelanggan. Responsiveness juga didasarkan pada persepsi pelanggan sehingga factor komunikasi dan situasi fisik disekitar pelanggan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Assurance (jaminan kepastian), yaitu pengetahuan dan kesopanan karyawan dan kemampuannya untuk memberikan rasa percaya dan keyakinan atas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan. Dan komponen dari dimensi ini yaitu keramahan, kompetensi, dan keamanan.
·    Emphaty (empati), yaitu membina hubungan dan memberikan pelayanan serta perhatian secara individual pada pelanggannya.
3.    Penilaian Mutu
    Penilaian terhadap mutu dilakukan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang dikelompokkan dalam tiga komponen, yaitu :
·    Struktur (Input)
Donabedian (1987, dalam Wijono 2000) mengatakan bahwa struktur merupakan masukan (input) yang meliputi sarana fisik perlengkapan/peralatan, organisasi, manajemen, keuangan, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya dalam fasilitas keperawatan. Baik tidaknya struktur sebagai input dapat diukur dari jumlah besarnya mutu, mutu struktur, besarnya anggaran atau biaya, dan kewajaran. Penilaian juga dilakukan terhadap perlengkapan-perlengkapan dan instrumen yang tersedia dan dipergunakan untuk pelayanan. Selain itu pada aspek fisik, penilaian juga mencakup pada karakteristik dari administrasi organisasi dan kualifikasi dari profesi kesehatan.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Tappen (1995), yaitu bahwa struktur berhubungan dengan pengaturan pelayanan keperawatan yang diberikan dan sumber daya yang memadai. Aspek dalam komponen struktur dapat dilihat melalui : 1) fasilitas, yaitu kenyamanan, kemudahan mencapai pelayanan dan keamanan; 2) peralatan, yaitu suplai yang adekuat, seni menempatkan peralatan; 3) staf, meliputi pengalaman, tingkat absensi, ratarata turnover, dan rasio pasien-perawat; dan 4) Keuangan, yaitu meliputi gaji, kecukupan dan sumber keuangan. Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka pendekatan struktur lebih difokuskan pada hal-hal yang menjadi masukan dalam pelaksanaan pelayanan keperawatan, diantaranya yaitu : 1) fasilitas fisik, yang meliputi ruang perawatan yang bersih, nyaman dan aman, serta penataan ruang perawatan yang indah; 2) peralatan, peralatan keperawatan yang lengkap, bersih, rapih dan ditata dengan baik; 3) staf keperawatan sebagai sumber daya manusia, baik dari segi kualitas maupun kuantitas; 4) dan keuangan, yang meliputi bagaimana mendapatkan sumber dan alokasi dana. Faktor-faktor yang menjadi masukan ini memerlukan manajemen yang baik, baik manajemen sumber daya manusia, keuangan maupun logistic.
·    Proses (Process)
Donabedian (1987, dalam Wijono 2000) menjelaskan bahwa pendekatan inimerupakan proses yang mentransformasi struktur (input) ke dalam hasil (outcome). Proses adalah kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan (perawat) dan interaksinya dengan pasien. Dalam kegiatan ini mencakup diagnosa, rencana perawatan, indikasi tindakan, prosedur dan penanganan kasus. Dengan kata lain penilaian dilakukan terhadap perawat dalam merawat pasien. Dan baik tidaknya proses dapat diukur dari relevan tidaknya proses bagi pasien, fleksibelitas/efektifitas, mutu proses itu sendiri sesuai dengan standar pelayanan yang semestinya, dankewajaran (tidak kurang dan tidak berlebihan). Tappen (1995) juga menjelaskan bahwa pendekatan pada proses dihubungkan dengan aktivitas nyata yang ditampilkan oleh pemberi pelayanan keperawatan. Hal ini termasuk perawatan fisik, intervensi psikologis seperti pendidikan dan konseling, dan aktivitas kepemimpinan. Penilaian dapat melalui observasi atau audit dari dokumentasi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan ini difokuskan pada pelaksanaan pemberian pelayanan keperawatan oleh perawat terhadap pasien dengan menjalankan tahap-tahap asuhan keperawatan. Dan dalam penilaiannya dapat menggunakan teknik observasi maupun audit dari dokumentasi keperawatan. Indikator baik tidaknya proses dapat dilihat dari kesesuaian pelaksanaan dengan standar operasional prosedur, relevansi tidaknya dengan pasien dan efektifitas pelaksanaannya.
·    Hasil (Outcome )
Pendekatan ini adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan perawat terhadap pasien. Dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan baik positif maupun negatif. Sehingga baik tidaknya hasil dapat diukur dari derajat kesehatan pasien dan kepuasan pasien terhadap pelayanan perawatan yang telah diberikan (Donabedian, 1987 dalam Wijono 2000). Sedangkan Tappen (1995) menjelaskan bahwa outcome  berkaitan dengan hasil dari aktivitas yang diberikan oleh petugas kesehatan. Hasil ini dapat dinilai dari efektifitas dari aktivitas pelayanan keperawatan yang ditentukan dengan tingkat kesembuhan dan kemandirian. Sehingga dapat dikatakan bahwa fokus pendekatan ini yaitu pada hasil dari pelayanan keperawatan, dimana hasilnya adalah peningkatan derajat kesehatan pasien dan kepuasan pasien. Sehingga kedua hal tersebut dapat dijadikan indikator dalam menilai mutu pelayanan keperawatan. Pendekatan-pendekatan di atas dapat digunakan sebagai indikator dalam melakukan penilaian terhadap mutu. Namun sebagai suatu sistem penilaian mutu sebaiknya dilakukan pada ketiga unsur dari sistem tersebut yang meliputi struktur, proses dan hasil. Dan setelah didapatkan hasil penilaiannya, maka dapat dilakukan strategi yang tepat untuk mengatasi kekurangan atau penilaian negatif dari mutupelayanan tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, strategi peningkatan mutu mengalami perkembangan yang dapat menjadi wacana kita mengenai strategi mana yang tepat dalam melakukan upaya yang berkaitan dengan mutu pelayanan keperawatan. Oleh karena itu pada sub bab berikutnya akan dibahas mengenai strategi dalam mutu pelayanan keperawatan.
4.    Siklus Pengembangan  Mutu Pelayanan Keperawatan
·    Tahap pengembangan strategi : dimulai dengan membangkitkan kesadaran akan perlunya  pengembangan   jaminan  mutu  pelayanan yang diikuti dengan berbagai upaya pelaksanaan, peningkatan komitmen.
·    Tahap transformasi : membuat model-model  percontohan  di dalam institusi  untuk peningkatan  mutu secara berkesinambungan yang mencakup  perbaikan  proses perbaikan standar prosedur, dan pengukuran tingkat kepatuhan  terhadap standar tersebut.
·    Tahap  integrasi : pengembangan pelaksanaan  jaminan mutu diterapkan diseluruh jaringan unit institusi, tetapi  tetap mempertahankan komitmen yang sudah tumbuh, optimalisasi proses pengembangan  jaminan mutu  secara berkesinambungan.

PENDEKATAN INTERDISIPLIN DAN KOLABORASI

PENDEKATAN INTERDISIPLIN DAN KOLABORASI
oleh
Ns. Nunung Nurhayati, S. Kep., M. Kep.
STIKep PPNI Jawa Barat

1.    Interdisiplin
    Interdisiplin merupakan suatu kegiatan yang didasarkan pada sejumlah dimensi kunci, termasuk didalamnya adalah : tujuan yang jelas,
identitas bersama,  komitmen bersama ,  peran yang jelas dari masing maing profesi, saling ketergantungan, dan integrasi satu sama lain. interdisiplin adalah unsur penting untuk mengurangi duplikasi usaha, meningkatkan koordinasi, meningkatkan keselamatan dan, oleh karena itu, memberikan perawatan berkualitas tinggi . Organisasi kesehatan menyadari  tentang pentingnya  memiliki informasi dan keterampilan banyak disiplin dalam rangka mengembangkan solusi yang dapat dipertangung jawabkan dalam memberikan perawatan yang komprehensif kepada individu dan keluarga.
    Diungkapkan oleh Firth-Cozens (1998) berpendapat bahwa: Kerja tim dipandang sebagai cara untuk mengatasi potensi fragmentasi perawatan, sebuah sarana untuk memperluas keterampilan; merupakan bagian penting yang perlu dipertimbangkan menghadapi kompleksitas perawatan modern; dan cara untuk meningkatkan kualitas bagi pasien. Pelayanan Kesehatan Nasional Manajemen Eksekutif (1993) di Inggris menyatakan : Hasil terbaik dan biaya paling efektif untuk pasien dan klien dicapai ketika profesional bekerja sama, belajar bersama, terlibat dalam audit klinis hasil bersama-sama,dan menghasilkan inovasi untuk memastikan kemajuan dalam praktek dan pelayanan.
2.    Kolaborasi
    Kolaborasi adalah  bentuk 'longgar' dari tim kerja interprofessional. Ini berbeda dari kerja tim dalam hal  identitas bersama dan integrasi individu yang kurang dianggap penting. Namun, ini mirip dengan kerjasama tim dalam hal pembagian  akuntabilitas bersama antara individu, saling ketergantungan antar individu, kejelasan peran / tujuan dan tugas tim, namun secara general kolaborasi digunakan pada setting dimana hanya memiliki sedikit kondisi unpredictable, urgency dan kompleksitas. Contoh jenis pekerjaan  dapat ditemukan dalam perawatan primer dan umum (Delva et al., 2008).
    Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar jika hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi itu terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi. Bagaimana masing-masing profesi memandang arti kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah pihak sehingga dapat diperoleh persepsi yang sama.
    Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, ” apa diagnosa pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya” pola pemikiran seperti ini sudah terbentuk sejak awal proses pendidikannya. Sulit dijelaskan secara tepat bagaimana pembentukan pola berfikir seperti itu apalagi kurikulum kedokteran terus berkembang. Mereka juga diperkenalkan dengan lingkungan klinis dibina dalam masalah etika, pencatatan riwayat medis, pemeriksaan fisik serta hubungan dokter dan pasien. mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu seperti gabungan bimbingan – pasien. Selama periode tersebut hampir tidak ada kontak formal dengan para perawat, pekerja sosial atau profesional kesehatan lain. Sebagai praktisi memang mereka berbagi lingkungan kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik untuk menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega (Siegler dan Whitney, 2000).
    Di lain pihak seorang perawat akan berfikir : apa masalah pasien ini?, bagaimana pasien menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya?, dan apa yang dapat diberikan kepada pasien?. Perawat dididik untuk mampu menilai status kesehatan pasien, merencanakan intervensi, melaksanakan rencana, mengevaluasi hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan. Para pendidik menyebutnya sebagai proses keperawatan. Inilah yang dijadikan dasar argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang membantu individu sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga pasien bisa mandiri.
    Sejak awal perawat dididik mengenal perannya dan berinteraksi dengan pasien. Praktek keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan dalam praktek rumah sakat dan praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para pelajar bekerja diunit perawatan pasien bersama staf perawatan untuk belajar merawat, menjalankan prosedur dan menginternalisasi peran.
    Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama antara tenaga profesional kesehatan (Lindeke dan Sieckert,  2005).
    Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.
3.    Proses Kolaborasi
    Sifat interaksi antara perawat – dokter menentukan kualitas praktik kolaborasi . ANA ( 1980 ) menjabarkan kolaborasi sebagai ” hubungan rekanan sejati , dimana masing-masing pihak menghargai kekuasaan pihak lain, dengan mengenal dan menerima lingkup kegiatan dan tanggung jawab masing-masing yang terpisah maupun bersama, saling melindungi kepentingan masing-masing dan adanya tujuan bersama yang diketahui kedua pihak ” . Dari penjabaran sifat kolaborasi dapat disimpulkan bahwa kolaborasi dapat dianalisis melalui empat buah indikator :
·    Kontrol – kekuasaan
Berbagi kekuasaan atau kontrol kekuasaan bersama dapat terbina apabila baik dokter maupun perawat terdapat kesempatan sama untuk mendiskusikan pasien tertentu. Beberapa peneliti telah mengembangkan instrumen penelitian untuk mengukur kontrol-kekuasaan pada interaksi perawat-dokter.
·    Lingkungan Praktik
Lingkungan praktik menunjukan kegiatan dan tanggung jawab masingmasing pihak. Meskipun perawat dan dokter memiliki bidang praktik yang terpisah sesuai dengan peraturan praktik perawat dan dokter,tapi ada tugastugas tertentu yang dibina bersama.
·    Kepentingan Bersama
Peneliti yang menganalisa kepentingan bersama sebagai indikator kolaborasi antara perawat dan dokter seringkali menanggapi dari sudut pandang perilaku organisasi. Para teoris ini menjabarkan kepentingan bersama secara operasional menggunakan istilah tingkat ketegasan masing-masing ( usaha untuk memuaskan sendiri ) dan faktor kerja sama ( usaha untuk memuaskan kepentingan pihak lain ). Thomas dan Kilmann (1974) telah merancang model untuk mengukur pola managemen penanganan konflik: (1) bersaing, (2) berkolaborasi, 3) berkompromi, (4) menghindar, (5 ) mengakomodasi.
·    Tujuan Bersama
Tujuan manajemen penyembuhan sifatnya lebih terorientasi kepada pasien dan dapat membantu menentukan bidang tanggung jawab yang erat kaitannya dengan prognosis pasien. Ada tujuan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab perawat, ada yang dianggap sebagai tanggung jawab sepenuhnya dari dokter, ada pula tujuan yang merupakan tanggung jawab bersama antara dokter dan perawat.
4.    Elemen Kunci Efektifitas Kolaborasi
    Kerjasama, menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk memeriksa beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan. Asertifitas penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-benar didengar dan konsensus untuk dicapai. Tanggung jawab, mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsensus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya. Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung jawab untuk membagi informasi penting mengenai perawatan pasien dan issu yang relevan untuk membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup kemandirian anggota tim dalam batas kompetensinya. Kordinasi adalah efisiensi organisasi yang dibutuhkan dalam perawatan pasien, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam menyelesaikan permasalahan.
    Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien. Kolegalitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional untuk masalah-masalah dalam team dari pada menyalahkan seseorang atau atau menghindari tangung jawab.  Hensen  menyarankan  konsep dengan arti yang sama : mutualitas dimana dia mengartikan sebagai suatu hubungan yang memfasilitasi suatu proses dinamis  antara orang-orang ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan dan kepuasan setiap anggota. Kepercayaan adalah konsep umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa pecaya,  kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari tanggung jawab, terganggunya komunikasi . Otonomi akan ditekan dan koordinasi tidak akan terjadi.
    Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat digunakan untuk  mencapai tujuan kolaborasi team yaitu :
·    Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian unik profesional.
·    Produktivitas  maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
·    Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
·    Meningkatnya kohesifitas antar profesional 
·    Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional,
·    Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas,  dan menghargai dan memahami orang lain.

MANAJEMEN RISIKO DAN PATIENT SAFETY

MANAJEMEN RISIKO DAN PATIENT SAFETY
oleh
Ns. Nunung Nurhayati, S. Kep., M. Kep.
STIKep PPNI Jawa Barat

    Manajemen Risiko
    Manajemen risiko (risk management) adalah keseluruhan proses mengenai identifikasi bahaya (hazards identification), penilaian risiko (risk assessment), dan menentukan pengendaliannya (risk control) (Ramli, 2010).
1.    Penentuan Konteks
    Penentuan konteks diselaraskan dengan visi dan misi organisasi serta sasaran yang ingin dicapai. Lebih lanjut ditetapkan pula kriteria risiko yang sesuai bagi organisasi.
2.    Identifikasi Bahaya
    OHSAS 18001 mensyaratkan prosedur identifikasi bahaya dan penilaian risiko terdiri dari factor internal organisasi dan eksternal organisasi, antara lain individu, barang dan jasa, kegiatan proses, dan kondisi lingkungan.
3.    Penilaian Risiko (Analisa Risiko Dan Evaluasi Risiko)
Tingkat    Uraian    Contoh Rinci      
A    Hampir pasti terjadi    Dapat terjadi setiap saat dalam kondisi normal.      
B    Sering terjadi    Terjadi beberapa kali dalam periode waktu tertentu.      
C    Dapat terjadi    Risiko dapat terjadi namun tidak sering.      
D    Kadang-kadang    Kadang-kadang terjadi.      
E    Jarang sekali    Dapat terjadi dalam keadaan tertentu.    
4.    Pengendalian Risiko
·    Eliminasi
Eliminasi adalah teknik pengendalian dengan menghilangkan sumber bahaya.
·    Substitusi
Substitusi adalah teknik pengendalian bahaya dengan mengganti alat, bahan, system atau prosedur yang berbahaya dengan yang lebih aman atau lebih rendah bahayanya.
·    Pengendalian teknis
Sumber bahaya biasanya berasal dari peralatan atau sarana teknis yang ada di lingkungan kerja. Karena itu, pengendalian bahaya dapat dilakukan melalui perbaikan pada desain, penambahan peralatan, dan pemasangan peralatan pengamanan.
·    Pengendalian administrative
Pengendalian bahaya dapat dilakukan secara administrative misalnya dengan mengatur jadwal kerja, istirahat, cara kerja, atau prosedur kerja yang lebih aman, rotasi, atau pemeriksaan kesehatan.
·    Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Pilihan terakhir untuk mengendalikan bahaya adalah dengan memakai alat pelindung diri misalnya pelindung kepala, sarung tangan, pelindung pernafasan (respirator atau masker), pelindung jatuh, dan pelindung kaki. Hal ini disebabkan karena alat pelindung diri bukan untuk mencegah kecelakaan (reduce likehood) namun hanya sekadar mengurangi efek atau keparahan kecelakaan (reduce consequences).
      Patient Safety
    Standar keselamatan pasien terdiri dari :
1.    Hak pasien
Standar :
    Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya insiden.
Kriteria:
·    Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.
·    Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan.
·    Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya insiden.
2.    Mendidik pasien dan keluarga
Standar :
    Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
Kriteria :
    Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien yang merupakan partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
3.    Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Standar :
    Rumah sakit menjamin keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriteria :
·    Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit.
·    Terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar.
·    Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya.
·    Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.
4.    Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
Standar :
    Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif insiden, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.
Kriteria :
·    Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (desain) yang baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
·    Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait dengan : pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan.
·    Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua insiden, dan secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus risiko tinggi.
·    Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk menentukan perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.
5.    Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Standar :
·    Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
·    Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi insiden.
·    Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien.
·    Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan keselamatan pasien.
·    Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien.
Kriteria :
·    Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
·    Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program meminimalkan insiden.
·    Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan pasien.
·    Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
·    Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang Analisis Akar Masalah “Kejadian Nyaris Cedera” (Near miss) dan “Kejadian Sentinel’ pada saat program keselamatan pasien mulai dilaksanakan.
·    Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden, misalnya menangani “Kejadian Sentinel” (Sentinel Event) atau kegiatan proaktif untuk memperkecil risiko, termasuk mekanisme untuk mendukung staf dalam kaitan dengan “Kejadian Sentinel”.
·    Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar pengelola pelayanan di dalam rumah sakit dengan pendekatan antar disiplin.
·    Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan keselamatan pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut.
·    Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya.
6.    Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Standar :
·    Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas.
·    Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisipliner dalam pelayanan pasien.
Kriteria :
·    Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya masing-masing.
·    Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan in-service training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.
·    Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisipliner dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien.
7.    Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Standar :
·    Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal.
·    Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.
Kriteria:
·    Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang halhal terkait dengan keselamatan pasien.
·    Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada.

SISTEM INFORMASI KLINIK

SISTEM INFORMASI KLINIK
oleh
Ns. Nunung Nurhayati, S. Kep., M. Kep.
STIKep PPNI Jawa Barat

Pengelolaan informasi dalam kesehatan yaitu pengumpulan, pengelolaan, dan penggunaan informasi dalam rekam medis pasien (demografi, sosioekonomi, informasi klinis) dalam sistem pelayanan kesehatan yang akan menentukan keefektifan sistem dalam mendeteksi masalah kesehatan, menentukan prioritas, menentukan solusi inovatif, dan mengalokasikan sumber daya untuk meningkatkan outcomes kesehatan (Wikipedia, 2012).
1.    Informasi yang Tepat – Meningkatkan Kualitas Data
    Jika informasi personal  yang dikelola oleh organisasi kesehatan bermanfaat bagi pasien, maka kualitas informasi tersebut harus baik. Kualitas data yang buruk menyebabkan efek yang merugikan bagi perawatan, antara lain:
·    Ketidaklengkapan, data yang dianalisa dengan tidak tepat, dapat menyebabkan kegagalan serius dalam pelayanan.
·    Buruknya hasil data demografik pasien pada sistem pencatatan pasien
·    Nomor identitas pasien yang salah dapat memberikan kesalahan pada perawatan dan pengobatan.
·    Pencatatan rekam medis yang tidak adekuat menghasilkan rencana perawatan yang buruk.
2.    Informasi di Tempat yang Tepat  – Menjaga Kerahasiaan Informasi
·    Pandangan petugas kesehatan dan pasien terhadap kerahasiaan
Dalam survei petugas NHS tahun 2007 dan 2008, lebih dari 80% dari petugas  setuju atau sangat setuju dengan pernyataan bahwa informasi pasien harus dirahasiakan oleh petugas kesehatan.
·    Pelatihan staf dan kesadaran tata kelola informasi
Pada survey NHS tahun 2008 menyebutkan bahwa hampir sepertiga dari seluruh petugas tidak mendapatkan pelatihan dalam menjaga kerahasiaan pasien.
·    Hilangnya data yang penting dari NHS
Menjaga kerahasiaan informasi adalah sangat kompleks. Karena harus menggabungkan solusi teknologi dan fisik untuk membatasi akses data personal, yang merupakan tantangan ketika data disimpan.
3.    Informasi di Waktu yang Tepat – Menyampaikan Informasi Secara EfektiF
    Penyampaian informasi personal secara efektif dan dengan persetujuan yang tepat adalah bagian yang mendasar dari integrasi dan kerja sama.
·    Penyampaian informasi antara tenaga kesehatan
Penyampaian informasi personal yang pantas telah menjadi fokus perhatian, tetapi perawatan pasien dapat juga dikompromikan ketika informasi tidak disampaikan secara efisien antar tenaga kesehatan.
·    Hubungan antara NHS dengan organisasi pelayanan kesehatan independen dan social
Penyampaian informasi personal antara professional kesehatan di NHS dan tenaga kesehatan yang bekerja di luar setting NHS (klinik independen , pekerja kesehatan sosial, dll) merupakan permasalahan yang lebih problematic.
·    Sharing informasi antara tenaga kesehatan dengan pasien
Konstitusi yang dikembangkan oleh NHS meliputi pula ketentuan untuk menginformasikan kepada pasien, apapun yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Dengan demikian, pasien akan dapat memahami kondisi kesehatan mereka dan memungkinkan mereka untuk menentukan pengobatan yang akan dipilih, selain itu juga ketika ada kesalahan mengenai data pasien, informasi tersebut dapat langsung dikonfirmasi dan dikoreksi.
       Sistem informasi adalah suatu cara tertentu untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh organisasi untuk beroperasi dengan cara yang sukses dan untuk organisasi bisnis dengan cara yang menguntungkan.
1.    Sistem Informasi Rumah Sakit
    Sistem informasi rumah sakit adalah suatu tatanan yang berurusan dengan pengumpulan data, pengelolaan data, penyajian informasi, analisa, dan penyimpulan informasi serta penyampaian informasi yang dibutuhkan untuk kegiatan rumah sakit.
    Sistem global dari sistem Informasi Rumah Sakit, terbagi atas
·    Sistem Informasi Klinik
·    Sistem Informasi Administrasi
·    Sistem Informasi Manajemen
2.    Sistem Informasi Klinik
    Sistem informasi klinik merupakan sebuah sistem informasi yang di dalamnya meliputi proses penyimpanan dan pengambilan informasi dalam membantu kegiatan pelayanan langsung pada pasien yang bertujuan memperoleh hasil akurat, mempercepat pelayanan dan menghemat tenaga (Austin, 1983).     Pelayanan langsung tersebut meliputi:
·    Membantu dalam mendiagnosa suatu penyakit
·    Membantu dalam monitoring perkembangan pasien
·    Menbantu dalam penyesuaian terapi.
3.    Proses Penyampaian Informasi
·    Penyampaian Informasi Tertulis
Komunikasi secara tertulis dapat dilakukan di tatanan ruang perawatan intensif. Contoh proses penyampaian informasi secara tertulis yaitu komunikasi dalam pendokumentasian.
·    Penyampaian Informasi Langsung
Komunikasi secara langsung sering dilakukan antara perawat dengan perawat, perawat dengan pasien dan atau keluarga pasien, dan perawat dengan tenaga medis lain.
·    Penyampaian Informasi Via Telepon
Saat ini, penyampaian informasi melalui telepon sering dilakukan. Dengan kemudahan sarana tersebut, memungkinkan tenaga kesehatan untuk merespon setiap perkembangan dan masalah dalam proses perawatan pasien. Pendokumentasian mengenai penyampaian informai melalui telepon penting dilakukan untuk menghindari hal – hal yang merugikan.
4.    Dokumentasi Proses Keperawatan
    Dokumentasi keperawatan merupakan komponen vital dalam praktik keperawatan. Dokumentasi keperawatan mengandung clinical judgment dan proses berpikir kritis dalam rangkaian proses keperawatan mulai dari pengkajian yang lengkap, penegakan diagnosa keperawatan, intervensi, dan evaluasi (Scotia, 2005 dalam Dewi, 2012).
5.    Struktur catatan keperawatan
·    Terdapat rincian kondisi personal pasien
·    Terdapat format pendaftaran dan pengkajian pasien
·    Terdapat daftar diagnosa keperawatan
·    Terdapat daftar intervensi keperawatan
·    Terdapat laporan hasil kemajuan dengan daftar hasil evaluasi
6.    Riwayat pasien
·    Dilihat dari kuantitas :
Terdapat rincian data seperti : nama, alamat, tanggal lahir, status marital, alasan masuk rumah sakit, pernyataan pasien tentang kondisi sakit yang dicatat seluruhnya.
·    Dilihat dari kualitas :
1)    Laporan yang masuk berisi diagnosa medis dan alasan masuk ke rumah sakit dengan aspek yang relevan dari diagnosa keperawatan yang dicatat
2)    Catatan jelas, bahasa benar, berisi semua informasi yang relevan dengan kondisi pasien.
7.    Struktur diagnosa keperawatan
·    Dilihat dari kuantitas :
1)    Label masalah (P), etiologi (E), dan tanda – gejala (S) yang jelas dan tegas tercantum dalam teks
2)    Diagnosa menyiratkan kemungkinan untuk intervensi
3)    Dapat ditulis : (P) + (E) + (S) à I
·    Dilihat dari kualitas :
Relevan, jelas, dan penggunaan bahasa yang benar
8.    Keberadaan intervensi
·    Dilihat dari kuantitas
1)    Setiap intervensi relevan dengan diagnosa keperawatan
2)    Intervensi sesuai dengan tujuan dar diagnosa yang ditegakkan
·    Dilihat dari kualitas :
1)    Intervensi jelas, bahasa yang benar, ringkas, berisi semua informasi yang relevan dan diperlukan untuk tindakan (implementasi)
2)    Tanggal disebutkan
3)    Intervensi disebutkan dalam status pasien
9.    Catatan perkembangan dan evaluasi
·    Dilihat dari kuantitas
1)    Catatan perkembangan dan evaluasi relevan dengan diagnosa keperawatan
2)    Evaluasi kemajuan sepenuhnya tersedia dan diperbaharui setiap hari
·    Dilihat dari kualitas :
1)    Evaluasi kemajuan yang jelas, bahasa yang benar, ringkas, berisi semua informasi relevan yang diperlukan untuk memahami status  kesehatan pasien
2)    Tanggal evaluasi dicantumkan
10.    Keterbacaan
Catatan dokumentasi ditulis dengan jelas dan dapat dibaca

EVIDENCE BASE PRACTICE DAN RISET KLINIK

EVIDENCE BASE PRACTICE DAN RISET KLINIK
oleh
Ns. Nunung Nurhayati, S. Kep., M. Kep.
STIKep PPNI Jawa Barat

Konsep Evidence Base Practice
    Evidence Based Practice (EBP) adalah proses penggunaan bukti-bukti terbaik yang jelas, tegas dan berkesinambungan guna pembuatan keputusan klinik dalam merawat individu pasien. Dalam penerapan EBP harus memenuhi tiga kriteria yaitu berdasar bukti empiris, sesuai keinginan pasien, dan adanya keahlian dari praktisi.
1.    Model EBP
·    Model Stetler
Model Stetler dikembangkan pertama kali tahun 1976 kemudian diperbaiki tahun 1994 dan revisi terakhir 2001. Model ini terdiri dari 5 tahapan dalam menerapkan Evidence Base Practice Nursing.
1)    Tahap persiapan. Pada tahap ini dilakukan identifikasi masalah atau isu yang muncul, kemudian menvalidasi masalah dengan bukti atau landasan alasan yang kuat.
2)    Tahap validasi. Tahap ini dimulai dengan mengkritisi bukti atau jurnal yang ada (baik bukti empiris, non empiris, sistematik review), kemudian diidentifikasi level setiap bukti menggunakan table “level of evidence”. Tahapan bisa berhenti di sini apabila tidak ada bukti atau bukti yang ada tidak mendukung.
3)    Tahap evaluasi perbandingan/ pengambilan keputusan. Pada tahap ini dilakukan sintesis temuan yang ada dan pengambilan bukti yang bisa dipakai. Pada tahap ini bisa muncul keputusan untuk melakukan penelitian sendiri apabila bukti yang ada tidak bisa dipakai.
4)    Tahap translasi atau aplikasi. Tahap ini memutuskan pada level apa kita akan melakukan penelitian (individu, kelompok,organisasi). Membuat proposal untuk penelitian, menentukan strategi untuk melakukan diseminasi formal dan memulai melakukan pilot projek.
5)    Tahap evaluasi. Tahap evaluasi bisa dikerjakan secara formal maupun non formal, terdiri atas evaluasi formatif dan sumatif, yang di dalamnya termasuk evaluasi biaya.
·    Model IOWA
Model IOWA diawali dengan adanya trigger atau masalah. Trigger bisa berupa knowledge focus atau problem focus. Jika masalah yang ada menjadi prioritas organisasi, maka baru dibentuklah tim. Tim terdiri atas dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain yang tertarik dan paham dalam penelitian. Langkah berikutnya adalah minsintesis bukti-bukti yang ada.Apabila bukti yang kuat sudah diperoleh, maka segera dilakukan uji coba dan hasilnya harus dievaluasi dan didiseminasikan.
2.    Implikasi EBP Bagi Perawat
Peran perawat melayani penting dalam memastikan dan menyediakan praktik berbasis fakta.
Mereka harus terus-menerus mengajukan pertanyaan, “Apa fakta untuk intervensi ini?” atau “Bagaimana kita memberikan praktik terbaik?” dan “Apakah ini hasil terbaik yang dicapai untuk pasien, keluarga dan perawat?” Perawat juga posisi yang baik dengan anggota tim kesehatan lain untuk mengidentifikasi masalah klinis dan menggunakan bukti yang ada untuk meningkatkan praktik. Banyak kesempatan yang ada bagi perawat untuk mempertanyakan praktik keperawatan saat itu dan penggunaan bukti untuk melakukan perawatan lebih efektif.
3.    Pentingnya EBP
Mengapa EBP penting untuk praktik keperawatan :
1)    Memberikan hasil asuhan keperawatan yang lebih baik kepada pasien
2)    Memberikan kontribusi perkembangan ilmu keperawatan
3)    Menjadikan standar praktik saat ini dan relevan
4)    Meningkatkan kepercayaan diri dalam mengambil keputusan
5)    Mendukung kebijakan dan rosedur saat ini dan termasuk menjadi penelitian terbaru
6)    Integrasi EBP dan praktik asuhan keperawatan sangat penting untuk meningkatkan kualitas perawatan pada pasien.
4.    Hambatan Untuk Menggunakan EBP
Hambatan dari perawat untuk menggunakan penelitian dalam praktik sehari-hari telah dikutip dalam berbagai penelitian, diantaranya (Clifford &Murray, 2001) antara lain :
1)    Kurangnya nilai untuk penelitian dalam praktek
2)    Kesulitand alam mengubah praktek
3)    Kurangnya dukungan administratif
4)    Kurangnya mentor berpengetahuan
5)    Kurangnya waktu untuk melakukan penelitian
6)    Kurangnya pendidikan tentang proses penelitian
7)    Kurangnya kesadaran tentang praktek penelitian atau berbasis bukti
8)    Laporan Penelitian/artikel tidak tersedia
9)    Kesulitan mengakses laporan penelitian dan artikel
10)    Tidak ada waktu dalam bekerja untuk membaca penelitian
11)    Kompleksitas laporan penelitian
12)    Kurangnya pengetahuan tentang EBP dan kritik dari artikel
13)    Merasa kewalahan
Konsep Penelitian Keperawatan
    Penelitian keperawatan melibatkan penyelidikan sistematis yang dirancang khusus untuk mengembangkan, memperbaiki, dan memperluas pengetahuan keperawatan. Sebagai bagian dari disiplin klinis dan professional, perawat memiliki bidang keilmuan yang unik, yang membahas praktik keperawatan, administrasi, dan pendidikan. Perawat peneliti mengkaji masalah-masalah yang menjadi perhatian khusus untuk perawat dan pasien, keluarga dan masyarakat yang mereka layani.
    Metode penelitian keperawatan dapat kuantitatif, kualitatif, atau campuran (yaitu, triangulasi):
1.    Dalam penelitian kuantitatif, peneliti menggunakan objektif, data kuantitatif (seperti tekanan darah atau denyut nadi) atau menggunakan instrument survey untuk mengukur pengetahuan, sikap, kepercayaan atau pengalaman
2.    Peneliti kualitatif menggunakan metode seperti wawancara atau analisis narasi untuk membantu memahami fenomena tertentu
3.    Pendekatan triangulasi menggunakan kedua metode kuantitatif dan kualitatif
Isu-Isu Yang Terkait Dengan EBP, Penelitian Keperawatan Dan Aplikasi Dalam Pelayanan
    EBP, penelitian keperawatan dan aplikasi merupakan rangkaian proses yang saling berkesinambungan. Sebelum melakukan penelitian keperawatan khususnya di area klinik, dibutuhkan data-data atau bukti-bukti dari hasil penelitian terdahulu yang mendukung masalah yang akan kita teliti. Hasil penelitian yang telah dilakukan, akan menjadi evindence dalam pengambilan keputusan klinis, sehingga tindakan yang dilakukan sudah berdasar hasil penelitian yang teruji.
1.    Mengidentifikasi Masalah Praktik Klinis
Langkah pertama adalah mengidentifikasi masalah atau isu praktek klinis. Sebagai konsekuensinya, ini adalah langkah yang paling sulit karena dibutuhkan banyak pemikiran danu paya untuk menyempurnakan pernyataan masalah untuk mengembangkan bukti-praktik keperawatan berdasar projects.
2.    Pengumpulan dan Penilaian Bukti Evidance
Langkah ke dua adalah mengumpulkan dan menilai bukti, bukti empiris (penelitian) dan bukti non empiris. Bukti nonempiris penting untuk mendukung perubahan praktik, sedangkan bukti empiris adalah dengan evidence termasuk uji klinis, non eksperimental dan meta analisis. Harus dibedakan studi penelitian yang sebenarnya dengan yang bukan penelitian.Jurnal keperawatan sangat baik dimana mengarahkan pengarang untuk memberikan judul sehingga pembaca dapat menemukan komponen penting dari sebuah artikel penelitian.Bukti non empiris meliputi ulasan literatur yang diterbitkan, pendapat dari artikel dan protocol/pedoman serta literature review penelitian yang dipublikasikan.
3.    Membaca dan Analisa Penelitian Empiris
Langkah pertama adalah dengan melihat abstract untuk menyaring artikel yang relevan, kemudian membaca hasil penelitian sehingga didapatkan suatu ide penelitian dan pengaruhnya terhadap implikasi keperawatan.
4.    Meringkas Bukti Evidance
Langkah ini sangat penting untuk keberhasilan peubahan praktik keperawatan yang kita usulkan.Sintesis temuan pada kelompok studi penelitian empiris dianggap kredibel. Hal ini dilakukan dengan melakukan analisis, pada analisis isi memeriksa temuan untuk dijadikan tema.
5.    Mengintegrasikan Evidance dan Referensi  Klinis
Tahap berikutnya yang perlu disintesis adalah keahlian klinis dan preferensi dari nilai-nilai.Diperlukan seseorang yang memiliki keahlian klinis di bidang atau topic tertentu. Dengan pendekatan multidisiplin akan memastikan analisis mendalam tentang hasil penelitian yang dianalisis.
2.3    STANDAR PELAYANAN  INSTALASI GAWAT DARURAT
    Kebijakan, Strategi, Tujuan dan Sasaran
1.    Pengembangan dan penerapan standar pelayanan keperawatan gawat darurat di rumah sakit, dilaksanakan dalam upaya penurunan angka kematian dan kesakitan melalui peningkatan mutu pelayanan keperawatan.
2.    Pengembangan dan peningkatan kemampuan teknis dan manajerial tenaga keperawatan dalam pelayanan keperawatan gawat darurat rumah sakit untuk terwujudnya kompetensi yang diperlukan di instalasi gawat darurat.
3.    Penerapan stándar pelayanan keperawatan gawat darurat di rumah sakit memerlukan dukungan dari berbagai pihak terkait.
       Strategi dalam Penerapan Stándar Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat
1.    Mengoptimalkan       pendayagunaan       sumber daya        yang      ada     dan pengembangannya
2.    Meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial.
3.    Meningkatkan kerjasama tim
4.    Terpenuhinya sarana, prasarana, peralatan dan Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan sesuai standar
Tujuan Penerapan Standar Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat
Umum :
Meningkatkan mutu pelayanan  keperawatan gawat darurat di IGD sesuai standar.
Khusus :
·    Adanya perencanaan pelayanan keperawatan gawat darurat.
·    Adanya pengorganisasian pelayanan keperawatan gawat darurat
·    Adanya pelaksanaan pelayanan keperawatan gawat darurat
·    Adanya asuhan keperawatan gawat darurat
·    Adanya pembinaan pelayanan keperawatan gawat darurat
·    Adanya pengendalian mutu pelayanan keperawatan gawat darurat
Sasaran
·    Pengelola pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan : Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/ Kota, rumah sakit
·    Pengelola pelayanan keperawatan di rumah sakit
·    Tenaga keperawatan yang bertugas di instalasi gawat darurat
·    Pengambil keputusan tingkat pusat dan daerah
·    Organisasi profesi kesehatan
·    Institusi pendidikan keperawatan dan institusi pendidikan kesehatan lainnya
    Indikator Standar
    Standar I :
    Perencanaan Pelayanan Keperawatan Gawat darururat Di Rumah Sakit
1.    Ketenagaan
Pernyataan :
Perencanaan ketenagaan perawat gawat darurat mencakup kebutuhan tenaga, peran dan fungsi tenaga perawat gawat darurat serta memenuhi kualifikasi tenaga perawat gawat darurat  berdasarkan kompetensi yang telah ditentukan.
Rasional :
Tenaga perawat yang sesuai dengan kebutuhan, peran dan fungsi serta memenuhi kualifikasi kompetensi yang ditentukan akan dapat menjamin kualitas pelayanan gawat darurat di IGD rumah sakit yang diberikan.
Kriteria Struktur :
·    Ada kebijakan pimpinan rumah sakit yang mengatur kualifikasi perawat yang bertugas di instalasi gawat darurat:
1)    Perawat Pelaksana
Kualifikasi :
Pendidikan D3 keperawatan dengan pengalaman klinik dua (2) tahun Ners dengan pengalaman klinik 1 tahun di Rumah Sakit dan sudah tersertifikasi Emergency nursing basic 2
Kompetensi  yang harus  dimiliki :
o    Mampu menguasai basic assessment primary survey dan secondary survey.
o    Mampu memahami triase dan retriase.
o    Mampu memberikan asuhan keperawatan kegawatdaruratan; pengkajian, diagnosa, perencanaan, memberikan tindakan keperawatan, evaluasi dan tindak lanjut.
o    Mampu melakukan tindakan keperawatan: live saving antara lain resusitasi dengan atau tanpa alat, stabilisasi.
o    Mampu memahami terapi definitif.
o    Mampu menerapkan aspek etik dan legal.
o    Mampu melakukan komunikasi terapeutik kepada pasien/ keluarga.
o    Mampu bekerjasama didalam tim.
o    Mampu melakukan pendokumentasian/ pencatatan dan pelaporan
2)    Ketua Tim (Penanggung jawab Shift)
Seorang perawat yang bertanggung jawab dan berwenang terhadap tenaga pelaksana keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien di gawat darurat, yang bertanggung jawab kepada kepala ruangan IGD
Kualifikasi Ketua Tim IGD Level III dan IV :
o    D3 keperawatan dengan pengalaman lima (5) tahun di IGD dan sudah tersertifikasi emergency nursing basic 2 dan pelatihan gawat darurat advance lainnya
o    Ners dengan pengalaman tiga (3) tahun di IGD dan sudah memiliki sertifikat emergency nursing basic 2 dan pelatihan gawat darurat advance lainnya
o    S2 keperawatan dengan pengalaman satu (1) tahun di IGD dan sudah tersertifikasi emergency nursing basic 2 dan pelatihan gawat darurat advance lainnya
Kompetensi yang harus dimiliki :
o    Memiliki kemampuan sebagai perawat pelaksana
o    Mampu mengelola pelayanan asuhan keperawatan 
o    Mampu menjaga mutu asuhan keperawatan
Kualifikasi Ketua Tim IGD Level I dan II :
o    D3 keperawatan dengan pengalaman kerja dua (2) tahun di IGD dan sudah memiliki sertifikat emergency nursing basic 2
o    Ners dengan pengalaman kerja satu (1) tahun di IGD dan sudah memiliki sertifikat emergency nursing basic 2
Kompetensi yang harus dimiliki :
o    Memiliki kemampuan sebagai perawat pelaksana
o    Mampu mengelola  pelayanan asuhan keperawatan
o    Mampu menjaga  mutu asuhan keperawatan
o    Mampu melakukan triase
3)    Perawat Kepala Ruangan
Perawat  profesional yang bertanggung jawab dan berwenang dalam mengelola pelayanan keperawatan di instalasi gawat darurat dan secara operasional bertanggung jawab kepada kepala IGD
Kualifikasi Kepala Ruangan IGD level III dan IV :
Minimal Ners, pengalaman sebagai perawat pelaksana tiga (3) tahun di IGD, pengalaman menjadi ketua tim dua (2) tahun dan sudah memiliki sertifikat emergency nursing basic 2 dan pelatihan gawat darurat advance lainnya  serta pelatihan manajemen 
Kompetensi yang harus dimiliki dan dibuktikan dengan sertifikat :
o     Memiliki kemampuan sebagai ketua tim
o    Mampu menjamin tersedianya tenaga keperawatan yang kompeten di  rumah sakit
o    Mampu mengorganisasi dan mengkoordinasi semua kegiatan keperawatan gawat darurat  dan bencana
o    Mampu membuat perencanaan dan melakukan pengembangan  keperawatan serta pelayanan gawat darurat  
o    Mampu melakukan kolaborasi dan koordinasi dengan tim dan tenaga kesehatan lain
o    Mampu melakukan fungsi manajemen  dalam menggerakkan tim kesehatan  untuk mencapai tujuan
o    Mampu menjaga mutu asuhan keperawatan
Kualifikasi perawat Kepala Ruangan IGD Level I dan II :
o    Ners pengalaman kerja sebagai perawat pelaksana satu (1) tahun di IGD, pengalaman sebagai ketua tim dua (2) tahun,  memiliki sertifikat   emergency nursing basic 2 dan pelatihan manajemen
o    D 3 keperawatan pengalaman kerja sebagai perawat pelaksana dua (2) tahun di IGD, pengalaman sebagai ketua tim dua (2) tahun, memiliki sertifikat   emergency nursing basic 2, dan pelatihan manajemen
Kompetensi yang dimiliki :
Kompetensi yang harus dimiliki dan dibuktikan dengan sertifikat :
o    Memiliki kemampuan sebagai ketua tim
o    Mampu menjamin tersedianya tenaga keperawatan yang kompeten di rumah sakit
o    Mampu mengorganisasi dan mengkoordinasi semua kegiatan keperawatan gawat darurat dan bencana
o    Mampu melakukan pengembangan  keperawatan dan pelayanan kesehatan pada umumnya
o    Mampu melakukan kolaborasi dan koordinasi dengan tim dan tenaga kesehatan lain
o    Mampu melakukan fungsi manajemen dalam menggerakkan tim kesehatan  untuk mencapai tujuan
o    Mampu menjaga mutu asuhan keperawatan
4)    Ada kebijakan pimpinan tentang perencanaan kebutuhan tenaga perawat mengacu pada fungsi pelayanan instalasi gawat darurat rumah sakit,  berdasarkan pada  : rata-rata jumlah pasien perhari, jumlah jam perawatan perhari  (tingkat beban kerja), serta jam efektif perawat perhari serta kompleksitas dari kasus yang ditangani di instalasi  gawat darurat (IGD) rumah sakit.
5)    Semua perawat yang memberikan pelayanan keperawatan gawat darurat di IGD memiliki Surat Tanda Registrasi (STR).
Kriteria Proses :
o    Menyusun rencana kebutuhan tenaga perawat berdasarkan rata-rata jumlah pasien perhari, jumlah jam perawatan perhari  (tingkat beban kerja), serta jam efektif perawat perhari serta kompleksitas dari kasus yang ditangani di instalasi  gawat darurat (IGD) rumah sakit
o    Menjadi tim rekruitmen tenaga perawat yang memberikan pelayanan gawat darurat.
o    Menyusun rencana program pengembangan SDM melalui pendidikan  dan pelatihan berkelanjutan, program pengembangan profesi.
Kriteria Hasil :
o    Tersedia tenaga keperawatan di gawat darurat sesuai kebutuhan yang ditetapkan dengan kualifikasi yang dipersyaratkan.
o    Adanya dokumen perencanaan kebutuhan tenaga perawat dan pengembangannya
o    Adanya tenaga perawat yang terlibat dalam tim rekruitmen tenaga perawat di pelayanan keperawatan gawat darurat di rumah sakit
2.    Sarana, prasarana dan peralatan IGD Rumah Sakit
Pernyataan :
Sarana, prasarana dan peralatan merupakan bagian yang akan memfasilitasi dan  mendukung  semua    kegiatan pelayanan    keperawatan  gawat darurat di rumah sakit, sehingga dapat    menjamin  terlaksananya  kegiatan dengan   lancar   dan terstandar. Sedangkan  pengelolaan  sarana, prasarana, peralatan kesehatan dan logistik yang   tepat dan cepat, mendukung terwujudnya   pelayanan keperawatan gawat darurat di rumah sakit yang berkualitas.
Rasional :
Tersedianya   sarana,  prasarana, peralatan   kesehatan dan   logistik, untuk    menjamin terlaksananya pelayanan keperawatan gawat darurat di rumah sakit yang  berkualitas, efektif dan efisien.
Kriteria Struktur :
·    Adanya   kebijakan pimpinan rumah sakit  yang  mengatur sarana,   prasarana dan peralatan kesehatan serta logistik dalam pelayanan gawat darurat di rumah sakit 
·    Adanya standar sarana, prasarana dan peralatan kesehatan serta logistik 
·    Adanya   mekanisme/ alur permintaan   penggunaan dan  pemeliharaan peralatan serta logistik 
·    Adanya perencanaan  sarana prasarana   dan peralatan yang melibatkan tenaga perawat.
·    Adanya  area dekontaminasi pada IGD level IV dan IGD  rumah sakit di daerah berisiko
·    Adanya tempat  penyimpanan sarana kesehatan dan logistik yang sesuai standar yang berlaku
·    Adanya   tenaga   yang   bertanggung jawab  dalam pemeliharaan dan tersedianya jadwal pemeliharaan secara berkala.
·    Adanya SPO  penggunaan dan pemeliharaan peralatan
·    Adanya sistem isolasi untuk pasien infeksius (H1N1, H5N1, SARS)
Kriteria Proses :
·    Menyusun rencana   kebutuhan sarana,    prasarana dan peralatan kesehatan dan logistik   berdasarkan   spesifikasi yang dipersyaratkan di pelayanan  keperawatan gawat darurat
·    Menjadi tim teknis dalam pengadaan sarana, prasarana, peralatan kesehatan dan logistik di instalasi gawat darurat.
·    Melaksanakan   pemantauan   terhadap   pemeliharaan   sarana,   prasarana serta peralatan kesehatan dan uji fungsi (kalibrasi) secara teratur dan berkala.
·    Melaksanakan sistem isolasi untuk pasien yang menderita penyakit sangat menular dan mematikan (H1N1, H5N1, SARS)
Kriteria Hasil :
·    Tersedianya sarana, prasarana, peralatan kesehatan dan logistik siap pakai sesuai Kebutuhan
·    Adanya dokumen inventaris  sarana, prasarana, peralatan kesehatan   dan logistik
·    Adanya   dokumen frekuensi   pemakaian dan pemeliharaan  peralatan kesehatan secara priodik/berkala
·    Adanya dokumen hasil kalibrasi peralatan kesehatan
·    Adanya  sistem isolasi untuk pasien yang menderita penyakit sangat menular dan mematikan (H1N1, H5N1, SARS)
    Standar II : Pengorganisasian Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat
    Pernyataan :
    Pengorganisasian pelayanan   keperawatan   gawat darurat di instalasi gawat darurat (IGD) harus memberikan pelayanan 24 jam dalam sehari dan tujuh hari dalam seminggu. Pengorganisasian pelayanan keperawatan gawat darurat didasarkan pada organisasi fungsional yang terdiri dari unsur pimpinan dan unsur pelaksana, yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pelayanan terhadap pasien gawat darurat, dengan tujuan tercapainya  mutu pelayanan IGD Rumah Sakit yang optimal.
Rasional :
Pengorganisasian yang baik di IGD Rumah Sakit dan tim yang handal menjamin kesinambungan pelayanan yang  berkualitas, efektif dan efisien.
Kriteria Struktur :
·    Adanya kebijakan pimpinan rumah sakit tentang pelayanan keperawatan gawat darurat yang mencakup pembentukan organisasi, tatalaksana pelayanan di IGD dan Monitoring evaluasi.
·    Adanya kebijakan pimpinan  rumah sakit tentang sistem rujukan pasien gawat darurat
·    Adanya struktur organisasi dan hubungan tata kerja gawat darurat 
·    Adanya  standar penetapan uraian tugas, tanggung jawab serta kewenangan perawat kepala ruangan, ketua tim dan pelaksana  di gawat darurat.
·    Adanya SPO penatalaksanaan  bencana baik internal dan eksternal
·    Adanya kebijakan  pendelegasian kewenangan melakukan tindakan medik yang bukan live saving diatur oleh kebijakan pimpinan rumah sakit setempat atau komite medik secara tertulis
Kriteria Proses :
·    Melaksanakan tugas sesuai dengan uraian tugas, tanggung jawab dan kewenangan perawat  dalam pelayanan IGD
·    Melakukan koordinasi dengan anggota tim kesehatan lain   
·    Melakukan koordinasi dengan tim keperawatan  di pelayanan IGD
·    Melaksanakan asuhan sesuai dengan metode penugasan yang ditetapkan
·    Melaksanakan penanganan bencana baik internal maupun eksternal sesuai SPO
·    Melaksanakan  delegasi  kewenangan untuk melakukan tindakan medik yang bukan live saving diatur oleh kebijakan pimpinan rumah sakit setempat atau komite medik 
    Kriteria Hasil :
·    Terlaksananya pelayanan keperawatan gawat darurat di IGD sesuai uraian tugas, tanggung jawab dan kewenangan tertulis
·    Terlaksananya koordinasi dengan anggota tim keperawatan dan anggota tim kesehatan lain
·    Terlaksananya sistem rujukan pasien gawat darurat
·    Terlaksananya penanganan bencana baik bencana internal maupun eksternal
·    Terlaksananya  delegasi  kewenangan untuk melakukan tindakan medik yang bukan live saving diatur oleh kebijakan pimpinan rumah sakit setempat atau komite medik
       Standar III : Pelaksanan Pelayanan Keperawatan Gawat darurat
    Pernyataan :
Bantuan yang diberikan pada pasien gawat darurat  bertujuan untuk penyelamatan nyawa dan mencegah kecacatan menggunakan pendekatan proses keperawatan di IGD rumah sakit 
Rasional :
Pelaksanaan pelayanan keperawatan gawat darurat dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan gawat darurat dengan cepat, tepat, dan cermat sesuai standar untuk  penyelamatan nyawa dan mencegah kecacatan.
Kriteria struktur :
·    Ada kebijakan pimpinan rumah sakit tentang penerapan Standar Asuhan Keperawatan (SAK)  10 kasus kegawatdaruratan yang menyebabkan kematian serta  10 masalah utama keperawatan gawat darurat.
·    Ada kebijakan pimpinan rumah sakit tentang Standar Prosedur Operasional (SPO) gawat darurat sebagai pendukung pelaksanaan pelayanan keperawatan  gawat darurat.
·    Ada standar asuhan keperawatan gawat darurat meliputi pengkajian, diagnosa/ masalah keperawatan, perencanaan, intervensi dan evaluasi, minimal pada sepuluh (10) masalah utama keperawatan gawat darurat.
·    Ada Standar Prosedur Operasional (SPO) kegawatdaruratan klinis yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit
·    Ada SPO manajerial yang berisikan alur pelayanan gawat darurat sehari-hari, bencana  internal dan eksternal yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit
·    Ada metode penugasan perawat yang ditetapkan (manajemen kasus/ primer) di pelayanan gawat darurat.
    Kriteria Proses:
·    Melaksanakan Standar Asuhan Keperawatan (SAK) pada  10 kasus kegawatdaruratan yang menyebabkan kematian dan 10 masalah utama keperawatan gawat darurat.
·    Melaksanakan pelayanan keperawatan  gawat darurat sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO)
·    Melaksanakan asuhan keperawatan gawat darurat meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, intervensi dan evaluasi
·    Melaksanakan SPO manajerial yang berisikan alur pelayanan gawat darurat sehari-hari, bencana internal dan eksternal.
·    Melaksanakan kolaborasi dalam pelaksanaan asuhan keperawatan dengan tim kesehatan lain
    Kriteria Hasil :
·    Semua perawat melaksanakan SPO Klinis maupun SPO Manajerial  
·    Ada dokumen/ catatan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan tiap pasien yang mencerminkan penerapan SAK
·    Perawat menangani pasien dan keluarganya secara komprehensif

    Standar IV : Asuhan keperawatan Gawat Darurat
        Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan kegawat daruratan, diberikan oleh perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di IGD rumah sakit . Proses keperawatan terdiri atas lima langkah meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana tindakan keperawatan, intervensi keperawatan dan evaluasi.
1.    Pengkajian  keperawatan
Pernyataan :
Proses pengumpulan data primer dan sekunder terfokus tentang status kesehatan pasien gawat darurat di  rumah sakit secara  sistematik, akurat, dan berkesinambungan.
Rasional:
Pengkajian primer dan sekunder terfokus, sistematis, akurat, dan berkesinambungan memudahkan perawat untuk menetapkan masalah kegawatdaruratan pasien dan rencana tindakan cepat, tepat, dan cermat sesuai standar.
Kriteria struktur :
·    Ada format pengkajian yang baku  untuk  pengkajian keperawatan gawat darurat , di rumah sakit.
·    Ada petunjuk teknis penggunaan formulir pengkajian keperawatan gawat darurat di rumah sakit
·    Ada sistem triase yang dapat digunakan pada pengkajian keperawatan gawat darurat di rumah sakit sehari-hari, baik bencana internal maupun eksternal.
·    Ada alat untuk pengkajian keperawatan gawat darurat meliputi : jam dengan jarum detik, stetoskop, termometer, tensimeter, pen light (lampu senter), defibrilator, pulse oxymetry, & EKG.
Kriteria Proses :
·    Melakukan triase
·    Melakukan pengumpulan data melalui primary dan secondary survey pada kasus gawat darurat di  rumah sakit, serta bencana internal dan eksternal.
1.    Primary survey :
Airway atau dengan kontrol servikal.
Breathing dan ventilasi
Circulation dengan kontrol perdarahan
Dissability pada kasus trauma, “Defibrilation, Drugs, Differential Diagnosis” pada kasus non trauma
Exposure pada kasus trauma, EKG , “Electrolite Imbalance” pada kasus non trauma
2.    Secondary survey :
Pengkajian head to toe terfokus, adalah pengkajian komprehensif sesuai dengan keluhan utama pasien.
o    Melakukan re-triase
o    Mengumpulkan data hasil dari pemeriksaan penunjang medik.
o    Mengelompokkan dan menganalisa data secara sistematis.
o    Melakukan pendokumentasian dengan menggunakan format pengkajian baku.
Kriteria hasil :
·    Adanya dokumen pengkajian keperawatan gawat darurat yang telah terisi dengan benar ditandatangani, nama jelas, diberi tanggal dan jam pelaksanaan.
·    Adanya rumusan masalah / diagnosa keperawatan gawat darurat.
2.    Masalah/ diagnosa keperawatan
Pernyataan :   
Masalah/ diagnosa keperawatan gawat darurat merupakan keputusan klinis perawat tentang respon pasien terhadap masalah kesehatan aktual maupun resiko yang mengancam jiwa.
Rasional :
Masalah/ diagnosa keperawatan yang ditegakkan merupakan dasar penyusunan rencana keperawatan dalam penyelamatan jiwa dan mencegah kecatatan. 
Kriteria struktur :
Ada daftar masalah/ diagnosa keperawatan gawat darurat.
Kriteria proses :
Menetapkan masalah/diagnosa keperawatan mencakup : masalah, penyebab, tanda dan gejala  (PES/ PE) berdasarkan prioritas masalah.
Prioritas masalah keperawatan gawat darurat :
·    Gangguan jalan nafas
·    Tidak efektifnya bersihan jalan nafas
·    Pola nafas tidak efektif
·    Gangguan pertukaran gas
·    Penurunan curah jantung
·    Gangguan perfusi jaringan perifer
·    Gangguan rasa nyaman
·    Gangguan volume cairan tubuh
·    Gangguan perfusi serebral
·    Gangguan termoregulasi
Kriteria hasil :
Ada dokumentasi masalah/ diagnosa keperawatan gawat darurat.
3.    Perencanaan
Pernyataan :   
Serangkaian langkah yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah/ diagnosa keperawatan gawat darurat berdasarkan prioritas masalah yang telah ditetapkan baik secara mandiri maupun melibatkan tenaga kesehatan lain  untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Rasional :
Rencana tindakan keperawatan gawat darurat digunakan sebagai pedoman dalam melakukan tindakan keperawatan yang sistematis dan efektif.
Kriteria struktur :
·    Adanya rumusan tujuan dan kriteria hasil
·    Adanya rumusan rencana tindakan keperawatan
Kriteria proses :
·    Menetapkan tujuan tindakan keperawatan penyelamatan jiwa dan pencegahan kecacatan sesuai dengan kriteria SMART
·    Menetapkan rencana tindakan dari tiap-tiap diagnosa keperawatan
·    Mendokumentasikan rencana keperawatan.
Kriteria hasil :
·    Tersusunnya rencana tindakan keperawatan gawat darurat yang  mandiri dan kolaboratif.
·    Ada rencana tindakan keperawatan didokumentasikan pada catatan keperawatan
4.    Pelaksanaan tindakan keperawatan
Pernyataan :
Perawat melaksanakan tindakan keperawatan yang telah diidentifikasi dalam rencana asuhan keperawatan gawat darurat.
Rasional :
Perawat mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan gawat darurat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kriteria Struktur :
·    Ada rencana tindakan berdasarkan prioritas
·    Ada standar asuhan keperawatan gawat darurat di rumah sakit baik sehari-hari maupun bencana.
·    Ada Standar Prosedur Operasional klinis
·    Tersedia format tindakan keperawatan
·    Ada kebijakan tentang informed consent disertai format yang baku.
·    Ada kebijakan di  rumah sakit  tentang pendelegasian tindakan medis.
    Kriteria Proses :
·    Melakukan tindakan keperawatan mengacu pada  standar prosedur operasional yang telah ditentukan sesuai dengan tingkat kegawatan pasien, berdasarkan prioritas tindakan :
Pelayanan keperawatan  gawat darurat rumah sakit :
1)    Melakukan triase
2)    Melakukan tindakan penanganan masalah penyelamatan jiwa dan pencegahan kecacatan
3)    Melakukan tindakan sesuai   dengan masalah   keperawatan yang   muncul. Contoh: Jalan nafas tidak efektif.
o    Mandiri
a.    Monitor pernafasan : rate, irama, pengembangan dinding dada, ratio inspirasi maupun ekspirasi, penggunaan otot tambahan pernafasan, bunyi nafas, bunyi nafas abnormal dengan atau tanpa stetoskop
b.    Melakukan pemasangan pulse oksimetri
c.    Observasi produksi sputum, jumlah, warna, kekentalan
d.    Lakukan jaw thrust (khusus pasien dengan dugaan cedera servikal), chin lift, atau head tilt
e.    Berikan posisi semi fowler, atau
f.    Berikan posisi miring aman
g.    Ajarkan pasien untuk nafas dalam dan batuk efektif
h.    Berikan air minum hangat sesuai kebutuhan
i.    Lakukan phisioterapi dada sesuai indikasi
j.    Lakukan suction bila perlu
k.    Lakukan pemasangan Oro Pharingeal Airway (OPA), Nasopharyngeal Airway (NPA), Laryngeal Mask Airway (LMA)
o    Kolaborasi
a.    Beri obat sesuai indikasi: bronchodilator, mukolitik, anti biotik, steroid
b.    Pemasangan endo tracheal tube (ETT)
·    Melakukan monitoring respon pasien terhadap tindakan keperawatan
·    Mengutamakan prinsip  keselamatan pasien (patient safety), dan privacy 
·    Menerapkan prinsip standar baku (standar precaution). 
·    Mendokumentasikan tindakan keperawatan.
Kriteria Hasil :
·    Adanya dokumen tentang tindakan keperawatan serta respons pasien.
·    Ada dokumen tentang pendelegasian tindakan medis (standing order).
5.    Evaluasi
Pernyataan :
Penilaian perkembangan kondisi pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan gawat darurat mengacu pada kriteria hasil.
Rasional :
Hasil evaluasi menggambarkan tingkat keberhasilan tindakan keperawatan gawat darurat.
Kriteria Struktur :
·    Ada tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan
·    Adanya catatan perkembangan pasien dari tiap masalah/ diagnosa keperawatan
Kriteria Proses :
·    Melakukan evaluasi terhadap respon pasien pada setiap tindakan yang diberikan (evaluasi proses).
·    Melakukan evaluasi dengan cara membandingkan hasil tindakan dengan tujuan dan kriteria hasil yang ditetapkan (evaluasi hasil)
·    Melakukan re-evaluasi dan menentukan tindak lanjut
·    Mendokumentasikan respon klien terhadap intervensi yang diberikan.
Kriteria Hasil :
Ada dokumen hasil evaluasi menggunakan pendekatan SOAP pada tiap masalah/ diagnosa keperawatan
Standar V : Pembinaan pelayanan Keperawatan Gawat Darurat
Pernyataan     :
Pembinaan pelayanan keperawatan gawat darurat meliputi pembinaan terhadap manajemen keperawatan, penerapan asuhan keperawatan, peningkatan pengetahuan serta keterampilan keperawatan gawat darurat di RS dan berkesinambungan. 
Rasional    :
Pembinaan pelayanan keperawatan gawat darurat dapat meningkatkan profesionalisme perawat sehingga menjamin tercapainya pelayanan keperawatan yang berkualitas
Kriteria Struktur :
·    Adanya kebijakan pimpinan tentang pembinaan pelayanan keperawatan gawat darurat.
·    Adanya mekanisme bimbingan teknis pelayanan keperawatan gawat darurat
·    Adanya program peningkatan pengetahuan dan ketrampilan perawat gawat darurat ( formal dan Informal )
·    Adanya reward dan punishment (penghargaan dan sanksi) bagi perawat di  gawat darurat
Kriteria Proses :
·    Merencanakan dan melaksanakan program bimbingan teknis, peningkatan kemampuan, penerapan asuhan gawat darurat secara berkala.
·    Melaksanakan pembinaan pelayanan pelayanan gawat darurat yang meliputi : manajemen keperawatan, penerapan asuhan keperawatan, peningkatan pengetahuan serta keterampilan keperawatan gawat darurat di RS dan berkesinambungan.
·    Memberikan reward (jasa keperawatan) dan punishment (sanksi) sesuai ketentuan
·    Melaksanakan pemantauan dan evaluasi kinerja secara periodik.
·    Melaksanakan tindak lanjut hasil pembinaan.
·    Melaksanakan pembinaan masalah etik profesi
Kriteria hasil :
·    Adanya peningkatan kinerja yang dibuktikan dengan dokumen kinerja perawat.
·    Adanya dokumen laporan penyelesaian masalah.
·    Adanya dokumen bimbingan teknis terhadap pelayanan keperawatan gawat darurat.
·    Adanya reward dan punishment.
·    Adanya dokumen penanganan masalah etik profesi.
    Standar VI : Pengendalian Mutu Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat
    Pernyataan :
Pemantauan, penilaian pelayanan keperawatan serta tindak lanjutnya yang dilakukan secara terus menerus untuk menjaga mutu pelayanan keperawatan gawat darurat.
Rasional :
Pengendalian mutu pelayanan keperawatan menjamin keselamatan, menurunkan angka kematian dan kecacatan  serta meningkatkan kepuasan pasien.
Kriteria Struktur :
·    Adanya kebijakan pimpinan sarana kesehatan tentang program keselamatan pasien (Patient safety).
·    Adanya kebijakan tentang program pengendalian mutu keperawatan gawat darurat.
·    Adanya indikator kinerja klinis pelayanan gawat darurat :
1)    Waktu tanggap pelayanan di gawat darurat ( response time )
2)    Angka kematian pasien ≤ 24 jam
3)    Kepuasan pelanggan
Kriteria Proses :
·    Melaksanakan pemantauan mutu dengan menggunakan instrumen yang terstandar
·    Melaksanakan upaya keselamatan pasien
·    Mendokumentasikan upaya keselamatan pasien dan pengendalian mutu
·    Menyusun program perbaikan kendali mutu pelayanan gawat darurat
Kriteria Hasil :
·    Ada dokumen hasil pelaksanaan keselamatan pasien dan perawat.
·    Ada dokumen hasil  evaluasi pelaksanaan keselamatan pasien.
·    Waktu tanggap pelayanan gawat darurat (response time) ≤ 5 menit
·    Angka kematian pasien ≤ 24 jam ≤ dua perseribu dan kepuasan Pelanggan ≥ 70%

PROFESSIONAL DEVELOPMENT

PROFESSIONAL DEVELOPMENT
oleh
Ns. Nunung Nurhayati, S. Kep., M. Kep.
STIKep PPNI Jawa Barat

Definisi
    Professional delopment adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual, dan moral karyawan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan/jabatan melalui pendidikan dan latihan (Hasibuan, 2002).
    Profesional development dalam pelayanan keperawatan adalah proses dimana manajer keperawatan merangsang motivasi personel keperawatan untuk bekerja secara produktif untuk memberikan pelayanan asuhan keperawatan pada klien pada standar kualitas dan kuantitas (Swansburg, 2001).
    Pengembangan adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual, dan moral karyawan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan/jabatan melalui pendidikan dan latihan (Hasibuan, 2002). Pengembangan mengacu pada masalah staf dan personel adalah suatu proses pendidikan jangka panjang menggunakan suatu prosedur yang sistematis dan terorganisasi dengan mana manajer belajar pengetahuan konseptual dan teoritis untuk tujuan umum.
Tujuan
    Tujuan pengembangan hakikatnya menyangkut hal-hal berikut :
1.    Produktivitas kerja
    Dengan pengembangan, produktivitas kerja karyawan akan meningkat, kualitas dan kuantitas produksi semakin baik, karena technical skill, human skill, dan managerial skill karyawan yang semakin baik.
2.    Efisiensi
    Pengembangan karyawan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi tenaga, waktu, bahan baku, dan mengurangi ausnya mesin-mesin. Pemborosan berkurang, biaya produksi relatif kecil sehingga daya saing perusahaan semakin besar.
3.    Kerusakan
    Pengembangan karyawan bertujuan untuk mengurangi kerusakan barang, produksi, dan mesin-mesin karena karyawan semakin ahli dan terampil dalam melaksanakan pekerjaannya.
4.    Kecelakaan
    Pengembangan bertujuan untuk mengurangi tingkat kecelakaan karyawan, sehingga jumlah biaya pengobatan yang dikeluarkan perusahaan berkurang.
5.    Pelayanan
    Pengembangan bertujuan untuk meningkatkan pelayanan yang lebih baik dari karyawan kepada nasabah perusahaan, karena pemberian pelayanan yang baik merupakan daya penarik yang paling penting bagi rekanan-rekanan perusahaan yang bersangkutan
6.    Moral
    Dengan pengembangan, moral karyawan akan lebih baik karena keahlian dan keterampilannya sesuai dengan pekerjaannya sehingga mereka antusias untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
7.    Karier
    Dengan pengembangan, kesempatan untuk meningkatkan karyawan semakin besar, karena keahlian, keterampilan, dan prestasi kerjanya lebih baik. Promosi ilmiah biasanya didasarkan kepada keahlian dan prestasi kerja seseorang.
8.    Konseptual
    Dengan pengembangan, manajer semakin cakap dan cepat dalam mengambil keputusan yang lebih baik, karena technical skill, human skill dan manajerial skillnya lebih baik.
9.    Kepemimpinan
    Dengan pengembangan, kepemimpinan seorang manajer akan lebih baik, human relationnya lebih luwes, motivasinya lebih terarah sehingga pembinaan kerjasama vertical dan horizontal semakin harmonis.
10.    Balas jasa
    Dengam pengembangan, balas jasa (gaji, upah insentif, dan benefits) karyawan akan meningkat karena prestasi kerja mereka semakin besar.
11.    Konsumen
    Pengembangan staf akan memberikan manfaat yang baik bagi masyarakat konsumen karena mereka akan memperoleh barang atau pelayanan yang lebih bermutu.
    Tipe Professional Development
    Pengembangan staf dapat mencakup secara formal dan nonformal, pelatihan kelompok dan individu, serta pendidikan. Berbagai macam pengembangan, penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan, baik pelatihan maupun pendidikan. Kegiatan-kegiatan pengembangan staf secara spesifik mencakup  introduction trainning, education on the job, pendidikan pelayanan, pendidikan berkelanjutan, dan pelatihan untuk fungsi-fungsi khusus, seperti pelatihan manajemen, tehnik pembentukan kelompk, dan pembiayaan metoda-metoda (Gillies, 2000).
1.    Introduction training
    Pelatihan pengarahan adalah suatu indoktrinasi yang berani, terstandarisasi terhadap falsafah organisasi, tujuan organisasi, program-program dalam organisasi, kebijakan dan peraturan organisasi, yang diberikan kepada staf saat baru berkerja. Pelatihan pengarahan merupakan pelatihan awal yang khusus diperuntukkan bagi staf baru.  Tujuan dari pelatihan pengarahan ini adalah untuk mendorong identitas staf dan instansi. Dalam tatanan perawatan kritis, tujuan ini diwujudkan dengan identitas tim kesehatan, khususnya perawat, yang bersikap cepat dan tepat dalam merespon kondisi hemodinamik pasien yang tidak stabil karena penyakitnya.
2.    Education on the job
    Merupakan kegiatan orientasi yang dilakukan dengan cara pelatihan individual yang diberikan kepada staf sebagai cara untuk mengenalkan mereka kepada kewajiban pekerjaannya, tempat kerja, para klien, dan staf lainnya. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk membantu staf ke dalam ranah kerja dan memudahkan staf dalam menerima tanggung jawab dalam pekerjaannya. Education on the job juga mencakup pendidikan pelayanan dalam yang meliputi seluruh instruksi pekerjaan yang diberikan untuk mendorong kehadiran pelaksanaan dari para staf.
3.    Continuing Education
    Pendidikan berkelanjutan meliputi seluruh pendidikan yang direncanakan dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keahlian staf yang membutuhkan. Tujuannya adalah mendorong staf agar mampu melaksanakan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya dari yang hanya bersifat memuaskan menjadi sesuatu pekerjaan yang sempurna atau untuk mencapai peningkatan jenjang karir yang lebih tinggi. Pendidikan berkelanjutan dapat ditempuh secara formal maupun informal. Istilah pendidikan berkelanjutan adalah suatu gagasan dimana pendidikan berlanjut setelah pendidikan profesional pra-pelayanan (Swansburg, 2001). ANA mendefiniskan pendidikan berkelanjutan sebagai ”aktivitas pendidikan yang direncanakan dengan tujuan untuk membangun dasar pendidikan dan pengalaman dari perawat profesional untuk meningkatkan praktik, pendidikan, administrasi, penelitian, atau pengembangan teori sampai akhirnya perbaikan kesehatan masyarakat”. Filosofi dari ANA tentang pendidikan berkelanjutan adalah bahwa pendidikan berkelanjutan merupakan esensial untuk mempertahankan dan meningkatkan kompetensi, serta untuk pertumbuhan pribadi dan profesional perawat. Prinsip pembelajaran orang dewasa diterapkan untuk berpartisipasi dalam mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran dan untuk secara aktif terlibat dalam perencanaan aktivitas pendidikan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan ini.
Menurut Depkes, 2006 Pengembangan staf dapat dilaksanakan melalui :
1.    In-service education
    Upaya ini dilakukan di ICU dan bertujuan untuk memperbaharui kemampuan dan ketrampilan sesuai dengan perubahan tekhnologi dalam lingkungan kerja dan praktek keperawatan maupun metodologi baru dalam memberikan pelayanan
2.    Pendidikan berkelanjutan melalui program sertifikasi
    Pendidikan berkelanjutan dan pelatihan sebagai upaya untuk meningkatkan kompetensi perawat (pengetahuan, ketrampilan dan perilaku) sehingga mampu mengambil keputusan klinik secara cepat dan tepat. Pengembangan program sertifikasi dapat dilakukan berdasarkan kebijakan institusi pelayananan dengan berkolaborasi dengan organisasi profesi keperawatan dan Departemen Kesehatan
3.    Pendidikan lanjut melalui program pendidikan formal keperawatan spesialistik
    Pendidikan lanjut sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan spesialistik serta analisis dalam proses pengambilan keputusan klinik secara cepat dan tepat. Selain itu upaya ini dapat memperluas wawasan dan meningkatkan jenjang karir perawat.
    Proses Perencanaan Professional Development
    Proses atau langkah-langkah pengembangan hendaknya dilakukan sebagai berikut :
1.    Sasaran
    Penetapan sasaran harus didasarkan kepada kebutuhan jabatan atau pekerjaan dari karyawan yang bersangkutan. Apakah sasaran pengembangan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan teknis mengerjakan pekerjaan (technical skills) ataukah untuk meningkatkan kecakapan memimpin (managerial skills) dan conceptual skills.
2.    Kurikulum
    Kurikulum atau mata pelajaran yang akan diberikan harus mendukung tercapainya sasaran dari pengembangan itu
3.    Peserta
    Menetapkan syarat-syarat dan jumlah peserta yang dapat mengikuti pengembangan. Misalnya usia, jenis kelamin, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikannya.
4.    Sarana
    Mempersiapkan tempat dan alat-alat yang akan digunakan dalam pelaksanaan pengembangan.
5.    Pelatih
    Menunjuk pelatih atau instruktur yang memenuhi persyaratan untuk mengajarkan setiap mata pelajaran sehingga sasaran pengembangan tercapai.
6.    Pelaksanaan
    Proses belajar mengajar harus diakhiri dengan ujian atau evaluasi untuk mengetahui sasaran pengambangan tercapai atau tidak.
Indikator-indikator yang diukur dari metode pengembangan yang diterapkan antara lain, sebagai berikut :
1.    Prestasi kerja perawat
    Apabila prestasi kerja atau produktivitas kerja perawat setelah mengikuti pengembangan, baik kualitas maupun kuantitas kerjanya meningkat maka berarti metode pengembangan yang ditetapkan cukup baik.
2.    Kedisiplinan perawat
    Jika kedisiplinan perawat setelah mengikuti pengembangan semakin baik, berarti metode pengembangan yang dilakukan baik.
3.    Absensi perawat
    Kalau absensi perawat setelah mengikuti pengembangan menurun berarti metode pengembangan itu cukup baik. Sebaliknya jika absensi perawat tetap, berarti metode pengembangan yang diterapkan kurang baik.
4.    Tingkat kerusakan produksi, alat dan mesin-mesin
    Kalau tingkat kerusakan produksi, alat dan mesin-mesin setelah perawat mengikuti pengembangan berkurang, maka metode yang digunakan telah cukup baik.
5.    Tingkat kecelakaan perawat
    Tingkat kecelakaan akibat penggunaan alat perawat harus berkurang setelah mengikuti program pengembangan.
6.    Tingkat pemborosan bahan baku, tenaga dan waktu
    Tingkat pemborosan bahan baku, tenaga dan waktu berkurang atau efisien semakin baik maka metode pengambangan itu baik.
7.    Tingkat kerjasama perawat
    Tingkat kerjasama perawat harus semakin serasi, harmonis, dan baik setelah mereka mengikuti program pengembangan, baik kerja sama antar sesama perawat, maupun dengan interdisiplin lainnya.
8.    Tingkat upah insentif perawat
    Tingkat upah insentif semakin meningkat disesuaikan dengan kompetensi yang dimiliki setelah mengikuti progra pengembangan.
9.    Kepemimpinan dan keputusan manajer
    Kemampuan manajerial seorang perawat akan semakin meningkat setelah mengikuti program pengembangan, karena dengan pendidikan yang lebih tinggi dan kompetensi yang lebih baik, juga dibekali dengan pengetahuan aspek-aspek manajerial.